Fiqih

Shalat dan Hukumnya (2)

Jumlah Shalat Fardhu

Shalat diwajibkan setiap malam dan siangnya sebanyak lima kali. Inilah yang dikatakan shalat fardhu atau shalat wajib. Shalat fardhu ini disebutkan dalam hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkisah:

“Datang seorang lelaki dari penduduk Najd dengan rambut yang kusut masai, terdengar pekik suaranya yang keras (dari kejauhan) namun tidak dapat dipahami apa yang ia katakan, hingga ia mendekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, ‘Shalat lima waktu sehari semalam.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Apakah ada shalat lain yang wajib aku tunaikan selain shalat lima waktu tersebut?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak mengerjakan shalat tathawwu’ (shalat sunnah)…’.” (HR. al-Bukhari no. 46 dan Muslim no. 100)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan tentang shalat yang difardhukan kepada para hamba (yaitu shalat lima waktu, pent.).” (Nailul Authar,1/398)

Lima shalat yang diwajibkan tersebut adalah shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan ‘Isya. Kelima shalat ini hukumnya fardhu ‘ain, dibebankan kepada setiap muslim yang mukallaf (baligh dan berakal), laki-laki ataupun perempuan, orang merdeka ataupun budak. Di sana ada pula shalat yang hukumnya fardhu kifayah yaitu shalat jenazah. Shalat ini hanya dibebankan kepada orang yang hadir di tempat tersebut, bila sudah ada yang menunaikannya maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. (Al-Muhalla, 2/3)

 

Kepada Siapa Shalat Lima Waktu Diwajibkan?

Shalat lima waktu diwajibkan kepada setiap muslim yang mukallaf, yakni yang telah baligh dan berakal. Adapun orang yang belum baligh dan tidak berakal gugurlah darinya kewajiban tersebut. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur sampai ia bangun, orang gila sampai kembali akalnya atau sadar, dan anak kecil hingga ia baligh.” (HR. Abu Dawud no. 4398 dan selainnya. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa`ul Ghalil no. 297)

Dengan demikian orang yang tidur, pingsan, orang gila, dan anak kecil, tidak dibebankan kewajiban shalat atas mereka sampai hilang penghalang yang ada. Yakni orang yang tertidur telah bangun dari tidurnya, orang yang pingsan telah siuman dari pingsannya, orang gila telah pulih dari sakit gilanya atau telah kembali akalnya, sedangkan anak kecil telah datang masa balighnya, di antaranya dengan tanda mimpi basah (keluar mani) bagi anak laki-laki dan haid bagi anak perempuan.

Digugurkan kewajiban shalat ini dari wanita yang sedang haid dan nifas. Bahkan haram bagi mereka mengerjakan shalat sampai suci dari haid atau nifas. Rasulullah n bersabda ketika ada yang bertanya sebab kaum wanita dikatakan kurang agama dan akalnya, “Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka itulah yang dikatakan kurang agamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 238)

Terhadap shalat yang mereka tinggalkan di masa haidh atau nifas tersebut, tidak ada keharusan untuk menggantinya (meng-qadha) di hari yang lain saat suci, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ada seorang wanita bertanya kepadanya, “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalatnya bila telah suci dari haid?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari, “Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulu mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat.” (HR. al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 709)

 

Faedah

Orang yang tertidur atau lupa hingga terluputkan shalat wajib darinya, maka ia mengerjakan shalat yang luput tersebut ketika terbangun atau ketika ia ingat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا

“Siapa yang lupa mengerjakan satu shalat (fardhu) maka hendaklah ia kerjakan shalat tersebut ketika ingat.” (HR. al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 684)

Dalam riwayat Muslim (no. 1567):

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan shalat tersebut ketika ia ingat (terjaga dari tidur).”

 

Shalat Anak Kecil

Walaupun anak kecil belum diwajibkan mengerjakan shalat hingga ia besar atau baligh, namun dituntut dari walinya (orangtua atau pihak yang bertanggung jawab mengasuh anak tersebut) agar memerintahkan si anak mengerjakan shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun, dan menghukumnya dengan pukulan bila ia meninggalkannya ketika telah berusia sepuluh tahun dalam rangka pengajaran dan latihan, bukan karena pewajiban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila meninggalkan shalat pada saat mereka telah berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud no. 495 dan lainnya. Dishahihkan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud dan Irwa`ul Ghalil no. 247)

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan wajibnya memerintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat bila mereka telah mencapai usia tujuh tahun, dan mereka dipukul bila tidak mau mengerjakannya pada usia sepuluh tahun….” (Nailul Authar,1/413)

 

Hukum Meninggalkan Shalat

Bila yang meninggalkan shalat tersebut tidak meyakini kewajiban shalat maka ulama sepakat bahwa orang tersebut kafir menurut nash/dalil yang ada dan ijma’. Namun bila meninggalkannya karena malas maka ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya maka orang itu kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. Ia keluar dari Islam, kecuali jika orang itu baru masuk Islam dan tidak berkumpul dengan kaum muslimin sesaatpun yang memungkinkan sampainya berita tentang wajibnya shalat padanya dalam masa tersebut. Bila ia meninggalkan shalat karena malas-malasan sementara ia meyakini akan kewajibannya –sebagaimana keadaan kebanyakan manusia, mereka tidak mengerjakan shalat karena malas padahal tahu hukum shalat tersebut– maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.” (Al-Minhaj, 2/257)

Sumber: Majalah Asy Syari’ah no. 32 ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari hafizhahullah dengan sedikit perubahan dari redaksi.

 

Para pembaca rahimakumullah, berikut ini sajian fatwa-fatwa ulama masa kini tentang orang yang meninggalkan shalat:

 

Fatwa al-Lajnah ad-Da`imah

Pertanyaan: Apa hukum orang yang meninggalkan shalat?

Jawaban: Shalat adalah salah satu dari lima rukun Islam setelah dua kalimat syahadat. Barang siapa meninggalkannya karena mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. Barang siapa meninggalkannya karena meremehkan dan sifat malas maka yang benar dari pendapat para ulama adalah kafir. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Antara seorang hamba dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat.”

(Maksudnya adalah bahwa yang mencegah dari kekafiran seorang hamba adalah dengan tidak meninggalkan shalat. Apabila dia meninggalkannya maka tidak ada lagi pembatas antara dia dengan kekafiran, red.)

Juga hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan at-Tirmidzi dalam al-Jami’, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dengan mereka (orang-orang munafik) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (Lihat fatwa no.141)

 

Fatwa asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah

Pertanyaan: Apa hukum meninggalkan shalat karena meremehkan dan lalai?

Jawaban: Orang yang meninggalkan shalat dia telah melakukan kemungkaran yang besar dan dosa yang besar pula, karena shalat adalah tiang agama Islam. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir. Ini pendapat yang benar dari dua pendapat para ulama.

Sebagian ulama berpendapat bahwa dia telah melakukan kemungkaran yang besar akan tetapi tidak kafir dengan kekafiran yang besar (yang mengeluarkan dia dari Islam) tapi dia jatuh pada kufur ashghar (tidak keluar dari Islam). Akan tetapi yang benar dia telah melakukan kufur akbar (keluar dari Islam) karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Perjanjian antara kami dengan mereka (orang-orang munafik) adalah shalat, barang siapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad)

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ Pokok segala urusan adalah Islam dan tiangnya adalah shalat.” (HR. Ahmad)

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

Pendapat inilah yang dikenal di kalangan para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa mereka menghukumi kafir. (Lihat fatwa asy-Syaikh bin Baz rahimahullah no. 107)

 

Fatwa asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Apa hukum meninggalkan shalat?

Jawaban: Meninggalkan shalat, aku berpendapat tidak ada keraguan padanya bahwa dia kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dia dari agama Islam, walaupun dia mengatakan, aku bersaksi bahwa shalat itu hukumnya wajib dan sesungguhnya shalat itu termasuk rukun Islam, akan tetapi dia tidak melaksanakanya maka dia kafir. (Lihat Liqa` Bab al-Maftuh 127/13)

Para pembaca rahimakumullah, terlepas dari perbedaan ulama tentang kafir atau tidaknya orang yang meninggalkan shalat karena malas, maka sungguh dia telah berada dalam kondisi yang sangat berbahaya.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja termasuk dosa yang paling besar dan termasuk paling besarnya dosa-dosa besar. Sungguh dosanya lebih besar dari dosa membunuh orang, mengambil harta (orang lain), zina, mencuri, dan minum khamr serta pelakunya membentangkan/mengantarkan dirinya kepada siksa, murka dan penghinaan Allah di dunia dan akhirat.” (Ash Shalatu wa Hukmu Tarikiha 1/29)

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button