Manhaj

Agama Islam itu Mudah & Indah

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 32/VIII/IX/1432

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)

Dinul Islam adalah ajaran dan tuntunan yang diturunkan dari sisi Sang Pencipta, Pemelihara, Pemilik langit, bumi serta segala isinya, termasuk manusia tentunya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang Maha Mengetahui batas kekuatan, kemampuan, serta potensi manusia. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menetapkan syari’at yang sesuai dengan kemampuan mereka dan bukan kemauan hawa nafsu mereka. Dinul Islam tidaklah menghendaki kesukaran, namun justru datang dengan membawa kemudahan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ

“Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah, dan tidak ada seorang pun yang mempersulitnya melainkan (agama itu) mengalahkan dia (mengembalikan dia kepada kemudahan).” (HR Al-Bukhari no. 39)

Islam bukan agama ritual penyiksaan diri, Islam memberi keringanan tatkala sakit atau tidak mendapatkan air dengan bertayammum sebagai pengganti wudhu. Islam menekankan untuk menyegerakan berbuka puasa bila telah tiba waktunya, bahkan melarang puasa terus-menerus setiap hari selain puasa Ramadhan. Islam juga menekankan pentingnya shalat malam, namun melarang melaksanakannya semalam suntuk. Islam mensyariatkan untuk menikah, melarang praktik membujang bagi pemeluknya.

Wahai saudaraku, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan kita. Sebagai contoh dalam urusan kematian, Islam menuntunkan demikian praktis dan mudah. Jika ada seorang muslim yang meninggal dunia maka jenazahnya cukup dimandikan, dikafani, dishalati, dimakamkan dan juga disunnahkan dimintakan ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Disunnahkan pula kita berta’ziyah  dengan mendoakan dan menghibur keluarga si mayit. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan para sahabat untuk membuat makanan untuk keluarga Ja’far radhiyallahu ‘anhu setelah meninggalnya Ja’far radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):

“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. At Tirmidzi)

Ibadah Bersifat Tauqifiyah

Wahai saudaraku di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kita. Ketahuilah, ibadah dalam islam adalah bersifat tauqifiyah, ketetapan yang sudah paten, kita tidak boleh kita menambah atau mengurangi dari apa yang telah dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada celah bagi kita untuk membuat tata cara dan bentuk baru dalam ibadah. Baik buruknya ibadah bukan diukur dari banyak-sedikitnya amalan, namun parameternya adalah keikhlasan dan kesesuaian dengan contoh, tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga Islam itu tidak sulit dan tidak merpersulit, karena tinggal mengikuti contoh praktek Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Tiga orang sahabat Nabi datang ke rumah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ingin menanyakan tentang ibadah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mereka memperoleh kabar tentang ibadah Nabi, seakan-akan mereka menganggap hal itu sedikit. Mereka menyatakan: “Di mana posisi kita dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Nabi telah diampuni dosa-dosanya baik yang telah lalu maupun yang akan datang.” Akhirnya salah seorang di antara mereka berkata: “Adapun saya, akan menegakkan shalat malam selamanya (tidak pernah tidur malam).” Yang kedua berkata: “Sedangkan saya akan berpuasa selamanya, tidak ingin berbuka walaupun sehari.” Adapun sahabat terakhir berkata: “Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.” Maka kemudian Rasulullah datang menemui mereka dan bertanya: “Apakah benar kalian yang menyatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dibanding kalian. Aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dibanding kalian. Akan tetapi aku berpuasa juga berbuka. Aku mengerjakan shalat malam dan aku juga tidur. Aku pun menikahi kaum wanita. Maka barangsiapa yang membeci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1159)

Alasan kedatangan ketiga sahabat tersebut: “Karena amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara lahiriah diketahui oleh kaum muslimin secara umum, seperti amalan beliau di masjid, di pasar, atau yang beliau lakukan ditengah masyarakat bersama para sahabat, mayoritas sahabat di Madinah mengetahuinya. Adapun amalan beliau yang bersifat sirr (tersembunyi), hanya keluarga beliau yang tahu dan sebagian para sahabat yang membantu beliau seperti Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya. Maka, datanglah ketiga sahabat tersebut ke rumah istri-istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan ibadah beliau ketika berada di rumah.

Dikarenakan para sahabat memiliki iman dan semangat yang tinggi untuk beramal shalih, maka mereka menganggap sedikit amal ibadah yang telah mereka kerjakan. Sehingga masing-masing bertekad untuk memilih satu bentuk ibadah. Salah seorang di antara mereka bertekad untuk berpuasa setiap hari, yang kedua hendak mengerjakan shalat malam sepanjang malam, adapun yang ketiga akan menjauhi wanita tidak menikah. Namun ketika tata cara ibadah yang dilakukan ketiga sahabat tersebut melampaui batas dari yang telah dituntunkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur dan membimbing mereka.

Bahaya Berlebihan dalam Ibadah

Ibadah secara berlebihan tidak disukai. Mengapa? Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Baththal sebagaimana dalam Fathul Bari, “Hal tersebut dibenci karena dikhawatirkan munculnya sikap jenuh sehingga justru meninggalkan ibadah tersebut secara keseluruhan.”

وَعَنْ عَائِشَةَ d: أنَّ النَّبيَّ n دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ، قَالَ: مَنْ هذِهِ؟ قَالَتْ: هَذِهِ فُلاَنَةٌ تَذْكُرُ مِنْ صَلاتِهَا. قَالَ: مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ، فَوَاللهِ لاَ يَمَلُّ اللهُ حَتَّى تَمَلُّوا. وَكَانَ أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ صَاحِبُهُ عَلَيْهِ.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, suatu hari masuk menemui ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu. Pada waktu itu ada seorang wanita di sisinya. Rasulullah bertanya, “Siapa wanita itu?” Aisyah menjawab, “Fulanah, dia sedang menceritakan tentang (lamanya) shalat malamnya. Maka Rasulullah membimbing, “Cegahlah dia, hendaknya kalian beramal sesuai dengan kemampuan. Demi Allah, Allah tidak akan jemu sampai kalian sendiri yang merasa jemu.” ‘Aisyah juga mengabarkan bahwa ibadah yang paling beliau sukai adalah ibadah seseorang yang dilakukan secara berkelanjutan. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Di dalam hadits di atas terdapat faedah bahwa sudah seharusnya bagi seorang hamba tidak memaksakan diri dalam menjalankan ketaatan dan banyak beramal di luar batas kepatutan. Karena hal itu akan menimbulkan kejenuhan yang justru berakibat fatal, yaitu meninggalkan ibadah tersebut semuanya. Keberadaan dirinya yang selalu menjaga amalan dan istiqamah, walaupun sedikit, tentu lebih utama. (Demikian penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ).

وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ

“Dan tidak ada seorang pun yang mempersulitnya melainkan (agama itu) mengalahkan dia (mengembalikan dia kepada kemudahan).” (HR. Al Bukhari no. 39)

Makna hadits ini ialah adanya larangan bagi seseorang yang hendak memberatkan diri dalam amalan din (agama), karena dia tidak akan mampu meneruskan amalan melebihi batas yang disyariatkan. Dan pada akhirnya dia akan jemu dan mengalami kekalahan.

Wahai saudaraku yang semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala Merahmati kita semua. Marilah kita perhatikan baik-baik nasehat seorang sahabat mulia Salman Al-Farisi terhadap sahabat Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu (yang artinya):

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda’. Suatu hari Salman Al-Farisi datang berkunjung ke rumah Abud Darda’. Mendapati keluarganya kurang mendapatkan perhatian dari Abud Darda’, Salman Al –Farisi pun bertanya, “Ada masalah apa?” Istri Abud Darda` menjawab, “Saudaramu, Abud Darda’ tidak lagi membutuhkan dunia.” Kemudian datanglah Abud Darda’ membuat makanan untuk Salman dan berkata, “Makanlah, aku sedang berpuasa.” Salman berkata, “Saya tidak akan menikmati makanan ini kecuali engkau menemaniku makan. Maka Abud Darda’ ikut menyantap makanan tersebut.

Di saat malam hari tiba Abud Darda’ bangkit untuk mengerjakan shalat malam. Salman menasehati agar Abud Darda’ istirahat dan tidur. Beliau pun menurut dan segera tidur. Di pertengahan malam Abud Darda’ ingin menegakkan shalat malam. Salman masih memberi nasehat yang sama, agar beliau istirahat dan tidur. Setelah masuk waktu akhir malam, Salman pun membangunkan Abud Darda’, “Bangunlah sekarang!” Mereka berdua lalu menegakkan shalat malam. Sesudah itu Salman menyampaikan nasehat, “Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak darimu. Dirimu pun juga memiliki hak. Demikian pula keluargamu memiliki hak yang harus engkau tunaikan. Maka tunaikanlah haknya masing-masing.” Setelah kejadian itu, beliau menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menceritakan kisahnya. Rasulullah bersabda, “Salman memang benar.” (HR. Al-Bukhari 8/40, 6139)

Simaklah hadits berikut:

دَخَلَ النَّبيُّ n المَسْجِدَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ، فَقَالَ: مَا هَذَا الحَبْلُ ؟ قَالُوْا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ، فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ بِهِ. فَقَالَ النَّبيُّ n: حُلُّوْهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ

“Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid. Beliau mendapatkan seutas tali terikat di antara dua tiang masjid. Lantas Rasulullah bertanya, “Tali untuk apa ini?” Para sahabat menjawab, “Tali ini milik Zainab. Apabila dia merasa capek shalat, dia pun bergantung dengan tali tersebut.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Lepaskan tali ini! Hendaknya siapapun di antara kalian menegakkan shalat dalam keadaan giat. Apabila dia merasa capek, hendaknya dia duduk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa tidak dibenarkan seorang hamba terlalu berdalam-dalam serta berlebihan (keluar dari tuntunan syari’at) dalam beribadah. Ia memaksakan diri untuk melaksanakan sesuatu yang di luar batas kemampuannya. Seharusnya ia menegakkan shalat dalam keadaan semangat. Manakala ia merasa lelah hendaknya ia berhenti, tidur untuk istirahat. Karena orang yang shalat dalam keadaan lelah, konsentrasinya akan lemah, tidak bisa khusyu’, jenuh dan jemu. Mungkin saja ia akan menbenci ibadah tersebut. Bahkan bisa jad yang tadinya ingin mendoakan kebaikan untuk dirinya, ternyata malah mendoakan kejelekan bagi dirinya. (Lihat Syarah Riyadhush Shalihin)

Penutup

Wahai saudaraku di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi seluruh hamba-Nya, yang menjadikan syari’at ini begitu mudah. Jangan kita nodai keagungan rahmat-Nya dengan sikap berlebih-lebihan dalam menjalankan syari’at-Nya. Menjalankan amal ibadah akan mudah bila dalam bingkai bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas pemahaman Salaful-Ummah. Semoga Allah memberi kita taufik, hidayah dan istiqamah serta menggolongkan kita menjadi Ahlul Jannah. Amin.

Wallahu a’lamu bish shawab.

 

9 komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button