Penulis : Ustadz Ruwaifi
Sejarah Munculnya Fitnah Takfir
menengok sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan mengkafirkan seorang muslim ini telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkat: “Ia merupakan fitnah yang telah lama ada, yang diprakarsai oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal dengan Khawarij.” (Fitnatut Takfir, hal. 12). Yang mana mereka telah berani mengkafirkan Khalifah Utsman bin Affan dan orang-orang yang bersamanya, mengkafirkan orang-orang yang memerangi Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim (termasuk di dalamnya Ali bin Abi Thalib), dan akhirnya mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Diringkas dari Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, 12/296-297).
Sebab Munculnya Fitnah Takfir
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata : “Sejauh apa yang aku pahami, sebabnya kembali kepada dua perkara :
Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama.
– (Ini yang terpenting), memahami agama tidak dengan kaidah syar’iyyah (tidak mengikuti Sabilul Mu’minin, jalannya Rasulullah r dan para Shahabatnya, pen).
Siapa saja menyimpang dari (jalan) Jama’ah yang dipuji oleh Rasulullah r dalam banyak sabdanya dan telah disebut oleh Allah ‘Azza wa Jalla (dalam Al Qur’an) , maka ia telah menentang Allah dan Rasul-Nya. Yang kumaksud adalah firman-Nya (artinya):
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min , kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisaa : 115)
Kemudian beliau berkata : “Dari sinilah banyak sekali kelompok-kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini, karena mereka tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsu di dalam menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang kemudian membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan akhirnya menyimpang dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menambahkan sebab ketiga yaitu jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat. (Fitnatut Takfir, hal. 19)
Demikian pula Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya kecemburuan (ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya (Zhahiratut-Tabdi’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hal. 14)
Kehati-hatian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Masalah Takfir
Adapun Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah, As-Salafiyyun adalah orang-orang yang sangat berhati-hati dalam masalah takfir, bahkan merekalah yang sejak dahulu hingga kini memerangi fitnah dan pemikiran tersebut. Kitab-kitab dan fatwa-fatwa para ulama mereka pun cukup sebagai bukti dan saksi, sehingga sangat ironis sekali apa yang diopinikan oleh musuh-musuh Islam bahwa motor dari fitnah takfir ini adalah As-Salafiyyun , dan mereka adalah para teroris.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahberkata: “Ringkas kata, wajib bagi yang ingin mengintrospeksi dirinya agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan keterangan dari Allah, dan hendaknya berhati-hati dari perbuatan mengeluarkan seseorang dari Islam semata-mata dengan pemahamannya dan anggapan baik akalnya, karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau memasukkan seseorang kedalamnya termasuk perkara besar dari perkara-perkara agama ini.” (Ad-Durar As- Saniyyah, 8/217, dinukil dari At Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir karya Muhammad bin Nashir Al Uraini, hal.30).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pemberian vonis kafir dan fasiq bukan urusan kita, bahkan ia dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena ia termasuk hukum syari’ah yang referensinya adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Maka wajib untuk ekstra hati-hati dan teliti dalam permasalahan ini, sehingga tidaklah seseorang dikafirkan dan dihukumi fasiq kecuali bila Al Qur’an dan As Sunnah telah menunjukkan kekafiran dan kefasikannya. Dan hukum asal bagi seorang muslim yang secara dhohir nampak ciri-ciri keislamannya adalah tetap berada diatas keislaman sampai benar-benar terbukti dengan dalil syar’i adanya sesuatu yang menghapusnya, dan tidak boleh bermudah mudahan dalam mengkafirkan seorang muslim atau menghukuminya sebagai fasiq.” (Al-Qowa’idul Mutslaa Fii Shifaatillahi Wa Asma’ihil Husna, hal. 87-88).
Oleh karena itu, Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah sangat berbeda dengan orang-orang Khawarij (Jama’ah Takfir). Namun hal ini tidak menjadikan mereka seperti Murji’ah yang menyatakan bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sama sekali terhadap keimanan seseorang. Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah akan menjatuhkan vonis kafir tersebut (dengan tegas) kepada seseorang, setelah benar-benar terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada lagi sesuatu yang dapat menghalanginya dari vonis tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Ada dua syarat (yang harus diperhatikan) untuk memvonis kafir seorang muslim.
Pertama: Adanya dalil (syar’i) yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk kekafiran.
Kedua: Vonis ini harus diberikan (secara tepat) kepada yang berhak mendapatkannya, yaitu seseorang yang benar-benar mengerti bahwa apa yang ia kerjakan merupakan suatu kekafiran dan ia sengaja dalam mengerjakannya. Dan jika seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah suatu kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir. Dasarnya adalah firman Allah I (artinya):
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisaa : 115)
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (At Taubah : 115)
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”(Al Israa’: 15)
Akan tetapi jika seseorang sangat berlebihan di dalam meninggalkan Thalabul Ilmi dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur. Contohnya ; seseorang yang disampaikan kepadanya bahwa apa yang ia kerjakan adalah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh ketika itu ia tidak mendapat udzur. Dan jika seseorang tidak bermaksud untuk mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir.
Contohnya;
– seseorang yang dipaksa untuk mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan,
– dan juga seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan entah disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, dan ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut, lalu iapun merenggutnya seraya berkata : “Ya Allah, Engkau hambaku, dan aku Rabb-Mu.” Salah mengucap dikarenakan sangat bergembira.
Namun bila seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahlul Ilmi. (Majmu’ Fataawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71).
Para ulama rahimahumullah membedakan antara takfir secara mutlak dan takfir mu’ayyan. Mereka seringkali menyatakan takfir secara mutlak (umum), seperti: “Barangsiapa mengatakan atau melakukan perbuatan demikian dan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya).” Namun ketika masuk kepada takfir mu’ayyan (untuk orang-orang tertentu) maka mereka sangat berhati-hati. Karena tidak semua yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran berhak divonis kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Suatu perkataan kadangkala termasuk dari bentuk kekafiran, maka pelakunya boleh dikafirkan secara umum, dengan dikatakan: ‘Barangsiapa mengatakan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya -pen).’ Namun untuk pribadi orang yang mengatakannya tidaklah langsung divonis kafir sampai benar-benar tegak (disampaikan) kepadanya hujjah.” (Fitnatut Takfir, hal. 49).
Kafirkah Berhukum Dengan Selain Hukum Allah ?
Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata: ” Yang benar adalah bahwasanya berhukum dengan selain hukum Allah I mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari islam-pen), dan jika ia berkeyakinan bahwasanya berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari islam-pen). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran-pen).” (Madaarijus Salikin, 1/336-337).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir surat Al Ma’idah ayat 44: “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari islam, bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut, dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam-pen), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).
Beliau juga berkata tentang tafsir surat Al Ma’idah ayat 45: “Ibnu Abbas berkata: “Kufrun duna kufrin (kufur kecil-pen), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman kecil-pen) dan fiskun duna fiskin (kefasikan kecil-pen). Dan disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman-pen) disaat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman-pen) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Kariimir Rahman, hal. 196).
Asy-Syaikh Muhammad Al Amin Asy-Syinqithi rahimahulah berkata: “Ketahuilah kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwasanya kekafiran, kezholiman dan kefasikan dalam syariat ini terkadang maksudnya kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah sebagai wujud penentangan terhadap Rosul dan peniadaan terhadap hukum-hukum Allah, maka kedholiman, kefasikan dan kekafirannya merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkannya dari keislaman, dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah dengan berkeyakinnan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang haram lagi jelek maka kekafiran, kedholiman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari keislaman.” (Adhwa’ul Bayan, 2/104).
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Barang siapa berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak keluar dari empat keadaan:
1. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
2. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama/sederajat dengan syariat islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
3. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah”, maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
4. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini”, namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak di perbolehkan, dia juga mengatakan bahwasanya berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar. (Al Hukmu Bighoirima’anzalallahu wa Ushulut Takfir, hal. 71-72, dinukil dari At Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, karya Muhammad bin Nashir Al Uraini, hal. 21-22) ____________________________________ Disarikan dari: Majalah Asy Syari’ah, no. 08/1425 H/Juli 2004 Oleh: Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari, Lc.
HADITS-HADITS DHO’IF ATAU PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
الدِّيْنُ هُوَ العَقْلُ وَ مَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ لاَ عَقْلَ لَهُ
“Agama itu adalah akal, barangsiapa yang tidak beragama berarti dia tidak berakal”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dan selainnya. Beliau berkata: “Hadits ini bathil dan munkar”. karena didalam sanadnya terdapat seorang perawi yang majhul (tidak dikenal oleh ahli hadits) yaitu Bisyr bin Ghalib. Sebagaimana dijelaskan Al Azdi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar dan selain mereka rahimahumullah. Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah berkata: “Hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan akal semuanya dusta.” (Al Mannar, hal 25) Diriwayatkan dari Dawud bin Al Muhabbir 30 hadits tentang keutamaan akal, semuanya palsu, sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no. 1)