Meraih Khusyu’ Dalam Shalat (Bagian ke – 2)
Pada edisi yang lalu telah dijelaskan tentang kedudukan dan keutamaan khusyu’ dalam shalat. Khusyu’ memilki peranan sangat penting dalam shalat, karena ia sebagai ruhnya. Atas dasar itu khusyu’ menjadi tolok ukur besar kecilnya nilai ats tsawab (pahala) di sisi Allah .
Karena orang yang shalat itu pada hakekat ia sedang berdo’a, bermunajat, dan berdzikir mengagungkan keagungan Rabb-nya. Allah berfirman (artinya): “Dan tegakkanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaha: 14)
Rasulullah juga menegaskan:
إِنَّ المُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّه فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِي بِهِ
“Sesungguhnya orang yang shalat itu sedang bermunajat kepada Rabb-nya, maka hendaklah ia memperhatikan apa yang ia munajatkan kepada-Nya.” (H.R. Al Bukhari dalam Af’alul ‘Ibad, lihat Shifat Shalatin Nabi hal. 100, karya Asy Syaikh Al Albani)
Pada edisi kali ini, akan disebutkan secara ringkas sebab-sebab yang dapat mendatangkan khusyu’. Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
I. Memperhatikan Kesiapan Shalat.
a. Pakaian shalat.
Hendaknya bagi orang yang shalat mengenakan pakain yang tidak mengganggu kekhusyu’an. Ummul mu’minin Aisyah berkata:
أَنَّ النَِّبيَّ صَلَّى في خَمِيْصِهِ لَهَا أَعْلاَمٌ فَنَظََرَ إِلىَ أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ: اِذْهَبُوا بِخَمِيْصَتِي هَذَهِ إِلَى أَبِى جَهْمٍ وَائْتُونِي بِأَنْبُجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنفا عَنْ صَلاَتِي
“Sesungguhnya Nabi pernah shalat dengan memakai khamishah (jenis pakain tertentu) yang bermotif/bercorak tertentu. Kemudian beliau melihat motif/coraknya dengan sekali lihatan. Seusai shalat, beliau berkata: ‘Pergilah kalian dengan membawa pakain ini kepada Abu Jahm, datangkan kepadaku anjubaniyah (jenis pakain polos). Karena khamishah itu dapat melalaikanku dalam shalat.” (H.R. Al Bukhari no. 373 dan Muslim no. 556)
b. Tempat shalat.
Hendaknya bagi orang yang shalat menyiapkan dan membersihkan tempat shalat dari segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyu’an. Shahabat Anas bin Malik berkata: “Aisyah memiliki qiram (sejenis klambu) yang terpasang disebelah rumahnya. Maka Rasulullah bersabda:
أَمِيْطِي عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا فَإِنَّهُ لاَ تَزَالُ تَصَاوِيْرُهُ تَعْرِضُ فيِ صَلاَتي
“Jauhkan qiram (klambu)-mu dariku, karena corak/motifnya dapat mengganggu shalatku.” (Al Bukhari no. 374)
dalam riwayat lainnya, bahwasannya Nabi pernah masuk ke ka’bah untuk shalat di dalamnya dan melihat dua tanduk kambing kibas. Seusai shalat, beliau berkata kepada Utsman Al Hajiby:
إِنِّي نَسِيْتُ أَنْ آمُرَكَ أَنْ تَخْمُرَ الْقَرْنَيْنِ فَإِنَّهُ لَيْسَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ فِي الْبَيْتِ شَيْءٌ يُشْغِلُ الْمُصَلِّي
“Sesungguhnya aku lupa menyuruhmu untuk menutup dua tanduk itu, karena tidak pantas ada sesuatu yang menyibukkan orang shalat dalam rumah Allah ini (Ka’bah).” (HR. Abu Dawud)
Inilah tauladan Rasulullah yang dicontohkan kepada umatnya. Beliau sebagai manusia yang paling bertaqwa dan khusyu’ ternyata masih tergangu kekhusyu’annya dengan perkara di atas, terlebih lagi kita.
Demikian pula hendaknya bagi orang yang shlalat mencari tempat yang tenang. Rasulullah melarang shalat dibelakang orang yang sedang ngobrol atau sedang tidur. Karena kedua hal tersebut bisa memalingkan perhatian dalam shalat.
لاَ تُصَلُّوا خَلْفَ النَّائِمِ وَلاَ الْمُتَحَدِّثِ لِأَنَّ الْمُتَحَدِّثَ يَلْهَى بِحَدِيْثِهِ، وَالنَّائِمُ قَدْ يَبْدُو مِنْهُ مَا يَلْهَى
“Janganlah kalian shalat di belakang orang yang sedang tidur dan orang yang sedang berbicara, karena orang yang berbicara bisa memalingkan(mu) dengan ucapannya dan orang yang sedang tidur terkadang menampakkan sesuatu yang bisa memalingkan(mu) darinya.” (H.R Abu Dawud)
c. Menghadirkan Kosentrasi.
Hendaknya bagi orang yang shalat, dalam keadaan siap (terkosentrasi), bukan masih dalam keadaan mengantuk. Karena rasa kantuk sangat mengganggu kosentrasi dalam shalat. Biasanya orang yang mengantuk kurang sadar apa yang sedang dibaca, apalagi menghayati kalimat ‘per’ kalimat. Bahkan terkadang, bisa menyebabkan lupa dari gerakan-gerakan atau bacaan-bacaan dalam shalat. Oleh karena itu bila rasa kantuk tidak bisa dihilangkan padahal dia dalam shalat, maka sebaiknya tidur untuk menghilangkan kantuknya, selama waktu shalat masih longgar dan bukan didasari malas. Rasulullah bersabda:
إِذَا نَعِسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ الْنَوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِى لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan mengantuk maka hendaklah dia tidur sampai hilang rasa kantuknya, karena jika salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak sadar (mengira) sedang beristighfar (memohon ampunan) padahal dia sedang mencela dirinya sendiri.” (H.R Al Bukhari, dari Aisyah)
Demikian pula shalat dalam keadaan sudah siap dihadapannya makanan atau ia dalam keadaan menahan hadats (besar atau kecil. Maka sebaiknya, ia menyantap makanan itu dan membuang hajatnya. Rasulullah bersabda:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ هُوَ يُدَافِعُهُ اْلأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika sudah disiapkan makanan dan tidak dalam keadaan menahan dua hadats.” (H.R. Muslim no. 560, dari shahabat Aisyah)
Al Imam An Nawawi dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim menambahkan penjelasan yang sangat penting, beliau berkata: “Di dalam hadits-hadits ini mengandung hukum makruh (dibencinya) shalat bila telah siap dihadapannya makanan dalam keadaan ia pun ingin memakannya, karena hal itu dapat menyibukkan hati dan menghilangkan kekhusyu’an. Demikian pula makruh (dibencinya) shalat bila dalam keadaan menahan dua hadats. Yaitu kencing dan buang air besar, atau sesuatu yang semakna dengan keduanya dari hal-hal yang dapat menyibukkan hati dan menghilangkan kekhusyu’an. Pendapat ini adalah pendapat kebanyakan madzhab Asy Syafi’i dan selainnya. Akan tetapi (dengan syarat) waktu shalat masih longgar. Bila waktu shalat sempit, kalau dia makan atau bersuci (membuang kedua/salah satu hajatnya lalu berwudhu’) ternyata waktu tidak cukup (keluar dari waktu shalat), maka ia shalat walaupun keadaannya seperti itu.”
Dari Abdullah bin Al Arqam, beliau pernah keluar untuk haji atau umrah bersama orang banyak dan beliau sebagai imam mereka. Ketika ditegakkan shalat -shalat shubuh- beliau berkata: “Majulah (jadi imam) salah satu diantara kalian, lalu beliau pergi untuk buang hajatnya.” Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَذْهَبَ إِلَى الْخَلاَءِ وَقَامَتِ الصَّلاَةُ فَلْيَبْدَأْ بِالْخَلاَءِ
“Apabila salah seorang dari kalian hendak membuang hajatnya, sedangkan shalat sudah ditegakkan maka dahulukanlah buang hajatnya.” (H.R. Abu Dawud)
Al Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Bari 2/128 berkata: “Sungguh benar perkataan sahabat Abu Darda’: “Termasuk kefaqihan seseorang adalah membuag hajatnya terlebih dahulu, sehingga ia menunaikan shalat dalam keadaan hatinya kosong (bersih) dari kesibukan-kesibukan dunia dan segala macam yang dapat menghalangi kekhusyu’an.”
d. Menghilangkan Aroma Yang Dapat Mengganggu Shalat.
Aroma yang kurang enak, baik dari mulut, badan, ataupun pakain, hal ini tentunya dapat mengganggu kosentrasi orang yang shalat, dan juga mengganggu orang yang ada disampingnya. Rasulullah melarang orang yang habis makan bawang untuk menghadiri shalat jama’ah. Karena aroma bawang dapat mengganggu kekhusyu’an, kecuali bila bisa dipastikan sudah hilang aromanya. Rasulullah bersabda:
مَنْ أَكَلَ مِنْ هذِهِ الشَّجَرَةِ – يَعْنِى الثَّوْمَ- فَلاَ يُقَرِّبُنَا وَلاَ يُصَلِّي مَعَنَا
“Barang siapa yang makan dari pohon ini -yaitu bawang putih, dalam riwayat lainnya bawang merah/bakung- maka janganlah dekat dengan kami dan janganlah shalat bersama kami.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari shahabat Anas)
II. Memperhatikan Beberapa Hal Dalam Shalat.
Ada beberapa hal yang memudahkan untuk menghadirkan kekhusyu’an. Diantaranya;
a. Mengingat mati.
Rasulullah bersabda:
اُذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صِلاَتِكَ ، فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلاَتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلاَتَهُ
“Ingatlah mati dalam shalatmu, karena bila seseorang mengingat mati dalam shalatnya, maka ia akan berupaya untuk memperbaiki shalatnya.” (Ash Shahihah no. 1421)
Dalam riwayat lainnya; Rasulullah berkata kepada Ayub Al Anshari:
إِذَا قُمْتَ فِي صَلاَتِكَ فَصَلِّ صَلاَةَ مُوَدِّعٍ
“Jika kamu hendak shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah (meninggalkan dunia).” (H.R. Ahmad, lihat Shahihul Jami’ no.742)
b. Mendatangi Shalat Dengan Sakinah (Tidak Terburu-Buru).
Rasulullah bersabda:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَأْتُوْهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوْهَا تَمْشُوْنَ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ فَمَاأَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَافَتَاكُمْ فَأَتِمُّوا
“Bila telah ditegakkan shalat, maka jangan mendatanginya dengan lari (terburu-buru), namun berjalanlah dengan sakinah (tenang). Apa yang kalian dapati dari shalat (jama’ah) maka shalatlah dan apa yang tertinggal maka sempurnakanlah.” (H.R. Muslim no. 602)
b. Mengerjakan Shalat dengan Thuma’ninah.
Rasulullah bersabda:
أَسْوَأُ النَّاسِ سِرْقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ ، قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ : كَيْفَ يَسْرِقُ صَلاَتَهُ ، قَالَ : لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا
“Sejelek-jelek manusia adalah pencuri, yang mencuri shalatnya. (Ada seseorang yang berkata): ‘Wahai Rasulullah: ‘Bagaimana ia mencuri shalatnya? Rasulullah bersabda: “Yaitu orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.” (Shahihul Jami’ no. 997)
c. Mengarahkan Pandangannya Ke Tempat Sujud dan Jangan Menoleh.
Aisyah berkata:
كَانَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَى بِبَصَرِهِ نَحْوَ الأَرْضِ
“Apabila Rasulullah shalat, maka beliau, menundukkan pandangannya ke tanah (tempat sujud).” (Lihat Shifat Shalatin Nabi hal. 89) Rasulullah bersabda:
فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلاَتَلْتَفِتُوا فَإِنَّ اللهَ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَالَمْ يَلْتَفِتْ
“Jika kalian shalat maka janganlah kalian menoleh, karena sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya ke wajah hambanya dalam shalatnya selagi ia tidak menoleh.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)
d. Menghayati Bacaan Al Qur’an, do’a-do’a dan dzikir- dzikir.
Shahabat Hudzaifah berkata:
إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيْهَا تَسْبِيْحٌ سَبَّحَ وَ إِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَ إِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ
“Bila Rasulullah melewati ayat yang berkenaan dengan tasbih, maka beliaupun bertasbih. Dan bila melewati ayat yang berhubungan dengan kenikmatan (rahmat), maka beliau pun memohonnya. Serta bila melewati ayat yang berhubungan dengan adzab, maka beliau berlindung darinya.”(H.R. Muslim no. 772)
diantara sebab yang dapat membantu untuk dapat menghayati bacaan-bacaan shalat diantaranya; membaca al qur’an dengan tartil. Allah berfirman (artinya): “Dan Bacalah Al Qur’an dengan tartil.” (Al Muzammil: 4)
Demikian pula dengan suara yang indah. Karena Rasulullah bersabda:
زَيِّنُوا الْقُرآنَ بِأَصْوَاتِكُم فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَنًا
“Perindahlah Al Qur’an dengan keindahan suara kalian. Karena suara yang indah dapat menambah keindahan Al Qur’an.”(H.R. Al Hakim, lihat Shahihul Jami’ no. 3581)