Fatwa tentang Anak-Anak
Para pembaca rahimakumullah.
Anak merupakan sebuah nikmat yang begitu berharga. Kehadirannya di dunia senantiasa dinanti oleh setiap pasangan suami istri. Bukankah begitu? Agar kenikmatan tersebut semakin bernilai, kehadiran anak harus diiringi dengan ilmu tentangnya. Berikut kami bawakan kumpulan fatwa tentang hukum-hukum terkait anak. Semoga bisa bermanfaat!
KHITAN
Apa hukum khitan?
Khitan termasuk salah satu fitrah dan syiar kaum muslimin. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالإِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمُ الأَظَافِرِ وَنَتْفُ اْلإِبِطِ
“Perbuatan fitrah itu ada lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut rambut ketiak.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Bentuk khitan syar’i adalah memotong kulit yang menutupi kepala atau ujung kemaluan. Adapun menguliti bagian kulit yang menutupi kemaluan secara keseluruhan bukan disebut khitan syar’i. Perbuatan ini justru merupakan bentuk penyiksaan dan menyelisihi sunnah Nabi. Perbuatan tersebut haram ditinjau dari beberapa sisi:
1. Menyelisihi sunnah. Sebab, secara sunnah khitan adalah dengan cara memotong kulit yang menutupi kepala kemaluan saja.
2. Perbuatan ini merupakan bentuk penyiksaan diri. Padahal, terhadap hewan saja Rasulullah n melarang berbagai bentuk pernyiksaan. Lalu bagaimana dengan menyiksa manusia? Tentu lebih terlarang dan dosanya lebih besar.
3. Menyelisihi perbuatan baik dan kelembutan. Rasulullah selalu mendorong untuk melakukan perbuatan baik dan lembut. Beliau bersabda,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu…” (HR. Muslim no. 3615)
4. Perbuatan ini bisa menyebabkan pendarahan dan kematian bagi orang yang dikhitan. Dan hal ini terlarang. Allah berfirman (artinya)
Janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. al-Baqarah: 195).
Dalam ayat lain, Allah berfirman (artinya),
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri! Sesungguhnya Allah sangat sayang kepada kalian.” (QS. an-Nisa’: 29)
Berdasarkan poin keempat ini, para ulama menyatakan bahwa khitan syar’i tidak wajib bagi orang yang sudah tua jika dikawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
WALIMAH KHITAN
Berkumpulnya pria dan wanita pada hari tertentu untuk menghadiri prosesi khitan kemudian memajang anak di depan mereka dalam keadaan tersingkap auratnya, maka hal ini tidak diperbolehkan. Sebab, ada unsur menyingkap aurat. Padahal, agama Islam memerintahkan untuk menutupnya dan melarang untuk menyingkapnya. Demikian pula bercampur baurnya pria dan wanita pada momen tersebut juga tidak diperbolehkan karena mengandung fitnah dan menyelisihi syariat suci. (Lihat Fatawa bin Baz: 4/423-424)
MENCUKUR RAMBUT ANAK PEREMPUAN SETELAH LAHIR DAN MENGKHITANNYA
Apa hukum mencukur rambut anak perempuan yang baru lahir dan apa pula hukum mengkhitannya?
Yang sunnah adalah mencukur rambut anak laki-laki saja ketika memberi nama pada hari ke tujuh. Adapun untuk anak perempuan maka tidak dicukur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah (artinya), “Setiap anak (laki-laki) tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ke tujuh, kemudian dicukur dan diberi nama.” (HR. Ahmad dan Ashhabus-Sunan)
Adapun hukum khitan bagi anak wanita adalah mustahab/sunnah dan tidak wajib. Hal ini berdasarkan keumuman hadits, “Lima perkara yang termasuk fitrah: khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut rambut ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis.” (Lihat Fatawa bin Baz: 10/47)
TINDIK TELINGA DAN HIDUNG BAGI ANAK PEREMPUAN
Apa boleh menindik cuping telinga dan hidung anak perempuan?
Menindik telinga anak perempuan untuk anting-anting termasuk perkara yang diperbolehkan. Sebab, hal itu untuk perhiasan dan bukan menyakiti atau mengubah ciptaan Allah. Perbuatan ini telah dikenal di zaman jahiliyah maupun di zaman Nabi. Rasulullah juga tidak melarangnya, bahkan menyetujuinya, begitu pula para sahabat. (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah)
Syaikh ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menindik telinga dan hidung anak perempuan untuk perhiasan. Beliau menjawab, pendapat yang benar, bahwa melubangi telinga tidak mengapa. Sebab, hal ini merupakan perkara yang bisa mengantarkan pada perbuatan berhias yang mubah dan diperbolehkan.
Para sahabat wanita memiliki anting-anting yang dipakai pada telinga mereka. Hal ini menyakiti tapi ringan. Apabila ditindik ketika masih kecil proses penyembuhannya lebih cepat. Adapun menindik hidung, maka aku tidak mengetahui adanya pembahasan ulama dalam hal ini. Menurutku, hal ini termasuk bentuk penyiksaan, memperburuk penciptaan atau penampilan. Dan bisa jadi selainku berpandangan lain. Hanya saja, apabila di suatu daerah menghiasi hidung dengan perhiasan merupakan bentuk keindahan, maka tidak mengapa menindik hidung untuk menggantungkan perhiasan padanya. (Lihat Fatawa ibnu Utsaimin: 11/137)
ADIL DALAM PEMBERIAN
Apakah pemberian kepada anak-anak sama seperti warisan?
Rasulullah bersabda,
اتَّقُوْا اللهَ وَاعْدِلُوْا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ
“Bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil di antara anak-anak kalian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat, apakah adil yang dimaksud dalam hadits tersebut menyamakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan atau anak laki-laki dilebihkan atas anak perempuan seperti warisan? Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat adalah pemberian tersebut disamakan dengan warisan. Bagian anak laki-laki seperti bagian dua anak perempuan. Inilah yang ditetapkan oleh Allah bagi mereka dalam warisan. Allah Maha Bijaksana lagi Maha Adil. Sehingga, dalam memberi seorang mukmin juga demikian. Jadi, bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Inilah bentuk keadilan bagi mereka. Dan inilah yang wajib bagi ayah dan ibu yang ingin memberi pemberian kepada anaknya. Dengan demikian terwujudlah keadilan dan kesamaan sebagaimana Allah menjadikan hal itu sebagai keadilan dalam warisan mereka. (Lihat Fatawa bin Baz: 6/377)
MELEBIHKAN SALAH SATU ANAK DALAM PEMBERIAN
Bolehkah mengutamakan salah satu anak dalam pemberian tanpa yang lainnya?
Sebagian orang tua mengistimewakan salah satu anaknya disebabkan bakti anak tersebut kepada orang tuanya. Sehingga, orang tua memberikan kekhususan kepada anak tersebut sebagai balasan atas baktinya. Apakah hal ini sebuah bentuk keadilan? Tidak diragukan lagi bahwa sebagian anak lebih baik dibandingkan yang lain. Hal ini wajar dan maklum adanya. Akan tetapi, orang tua tetap tidak boleh melebihkan pemberian kepadanya disebabkan hal itu. Akan tetapi, yang wajib adalah berlaku adil kepada anak-anak. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah (artinya), “Bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil diantara anak-anak kalian.” Sehingga, dengan sebab bakti ini orang tua tidak boleh mengutamakannya. Yang wajib adalah bertindak adil dan menasehati semuanya agar mereka istiqamah dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang tua tetap tidak melebihkan pemberian salah satu anak dan tidak pula berwasiat untuknya. Semua anak sama dalam warisan dan pemberian sebagaimana yang disebutkan dalam syariat tentang warisan dan pemberian. Yaitu, berlaku prinsip keadilan diantara mereka; bagian anak laki-laki seperti bagian dua anak perempuan. Jika anak laki-laki diberi seribu, maka anak perempuan diberi lima ratus. Hanya saja, jika para anak bersikap dewasa, rela dan legowo, maka hal ini tidak mengapa. Namun, kerelaan tersebut betul-betul ikhlas dan bukan terpaksa. Kesimpulannya, jika semua anak rela dengan pemberian khusus kepada salah satu anak karena adanya sebab khusus pada anak tersebut, maka hal tersebut tidak mengapa. (lihat Fatawa bin Baz: 20/55)
BOLEHKAH ORANG TUA MENARIK KEMBALI PEMBERIAN YANG TELAH DIBERIKAN KEPADA ANAKNYA?
Orang tua boleh meminta kembali pemberian yang telah diberikan kepada anaknya jika si orang tua melihat adanya maslahat dalam hal tersebut. Dengan syarat, sang anak memiliki kemampuan untuk mengembalikannya. Rasulullah bersabda (artinya),
لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِيَ الْعَطِيِّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيْهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيْمَا يُعْطِيْ وَلَدَهُ
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk memberikan suatu pemberian kemudian menariknya kembali pemberiannya kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah) (Lihat Fatawa bin Baz: 20/68)
Wallahu Ta’ala a’lam bish shawaab
Referensi: Kumpulan “Fatawa Tarbiyatul Aulaad” Daar Al Ikhlas wa Ash.
Penulis: Ustadz Abdul Aziz Sorong