Fiqih

Bolehkah Melempar Jumrah pada Hari-Hari Tasyriq Sebelum Zawal?

Edisi: 29 || 1440H
Tema: Fikih

بسم الله لرّحمان الرّحيم

Salah satu ibadah teragung dan termulia di sisi Allah ta’ala adalah ibadah haji. Segala amaliah dalam prosesi manasik haji benar-benar merupakan perwujudan tauhid kepada Allah, sekaligus merealisasikan ketaatan dan ketundukan total kepada Allah ta’ala. Rangkaian manasik haji juga sebagai bentuk menegakkan dzikrullah (mengingat Allah ta’ala).

Allah ta’ala berfirman (artinya), “Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’ari Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada kalian; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu.” (al-Baqarah: 198-200)

Pelaksanaan Haji Harus Sesuai Sunnah Nabi shalallahu’alaihi wasallam

Setiap muslim dalam ibadahnya harus terpenuhi dua syarat penting agar ibadahnya sah dan diterima di sisi Allah ta’ala, yaitu:

⦁ Syarat Pertama: Ikhlas lillah Ta’ala. Amalannya harus murni ditujukan kepada Allah dan dilaksanakan karena-Nya.

⦁ Syarat Kedua: Mutaba’ah, yakni harus mengikuti aturan yang telah diajarkan oleh Nabi shalallahu’alaihi wasallam.
Dua syarat ini berlaku untuk semua ibadah, termasuk dalam ibadah haji. Nabi shalallahu’alaihi wasallam telah bersabda dalam mewanti-wanti umatnya,

لتأخذوامناسككم,فإنّي لاأدري لعلّي لا أحجّ بعد حجّتي هذه

“Hendaknya kalian mengambil (dariku) cara pelaksanaan manasik kalian. Karena sesungguhnya aku tidak tahu, bisa jadi aku tidak berhaji lagi setelah hajiku ini.” (HR. Muslim 1297 dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiallahuanhu)

Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkannya dengan lafazh,

خذواعنّي منا سككم لعلّي لاأراكم بعد عامي هذا

“Ambilah dariku manasik haji kalian. Bisa jadi aku tidak melihat kalian lagi setelah tahun ini.”

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits di atas. Maksudnya: Segala yang aku bawa terkait pelaksanaan hajiku, baik ucapan, perbuatan, gerakan adalah syari’at haji dan tata caranya, sekaligus itulah manasik untuk kalian, maka ambillah dariku, perhatikan dan hafalkanlah, serta laksanakanlah, lalu ajarkanlah kepada umat manusia. Hadits ini merupakan dasar yang sangat penting dalam manasik haji.” (Syarh Shahih Muslim)

Sehingga seluruh tata cara pelaksanaan ibadah haji harus mengambil dari nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam. Mulai dari ihram, wuquf, mabit, lempar jumrah, thawaf, dll. Termasuk bagaimana tata cara melempar jumrah, kapan waktunya dan selainnya harus berdasarkan bimbingan nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam.

Melempar Jumrah Merupakan Salah Satu Ibadah yang Mulia

Allah ta’ala berfirman (artinya), “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (yakni hari-hari Tasyriq).” (al-Baqarah:203)

Termasuk dalam perintah berdzikir dalam ayat tersebut adalah dzikrullah ketika melempar Jumrah pada setiap hari-hari Tasyriq. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,

أيّام التّشريق أيّام أكل وشرب,وذكرالله

“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum dan dzikrullah.” (HR. Muslim)

Yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Termasuk dzikrullah pada hari-hari Tasyriq adalah ketika melempar jumrah. (lihat Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih [5/1827])

Pelaksanaan Lempar Jumrah Ada Ketentuan Waktunya

⦁ Lempar jumrah pada hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) hanya satu saja, yaitu Jumrah al-Aqabah. Waktunya boleh dimulai sejak usai pertengahan malam (dini hari) 10 Dzulhijjah. Namun lebih utama mulai dilaksanakan setelah terbit matahari.

⦁ Lempar Jumrah pada hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) adalah tiga jumrah setiap harinya, yaitu: Jumrah Sughra, Wustha dan Kubra (Aqabah). Waktu pelaksanaannya adalah setelah zawal (tergelincir) matahari, yakni setelah masuk waktu shalat zhuhur.

Bolehkah Melempar Jumrah Hari Tasyriq Sebelum Zawal (Tergelincir) Matahari?

Pembahasan ini sering ditanyakan pada setiap musim haji, karena tidak sedikit dari rombongan jama’ah haji mengajak jama’ahnya untuk melempar Jumrah Tasyriq sebelum matahari tergelincir dengan alasan menghindari kepadatan atau karena akan bersegera meninggalkan Mina (khususnya pada tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah). Apakah sah melempar sebelum zawal?

Dalam permasalahan ini kita harus kembali kepada ketentuan sunnah (tuntunan) Nabi shalallahu’alaihi wasallam, karena beliau telah memerintahkan umatnya agar mengambil tata cara manasik beliau shalallahu’alaihi wasallam.

Dalil Pertama

Shahabat Jabir bin Abdillah radhiallahuanhu menjelaskan tentang cara Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam melempar Jumrah sebagai berikut,

رمى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم الجمرة يوم النّحر ضحى,وأمّا بعد فإذا زالت الشّمس

“Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam melempar jumrah pada hari Nahr (yakni Jumratul Aqabah) pada waktu Dhuha, adapun (melempar jumrah) pada hari-hari setelahnya (yakni pada hari-hari Tasyriq) bila matahari telah tergelincir.” (HR. Muslim no. 314)

Hadits di atas menunjukkan bahwa praktek manasik haji yang diamalkan oleh baginda Nabi shalallahu’alaihi wasallam dalam melempar jumrah pada hari Tasyriq adalah setelah matahari tergelincir. Ini menunjukkan bahwa melempar jumrah sebelum matahari tergelincir adalah bertentangan dengan praktek haji Nabi shalallahu’alaihi wasallam.

Sebagaimana diketahui bahwa perbuatan/amalan Nabi shalallahu’alaihi wasallam dalam manasiknya merupakan rincian dari perintah melaksanakan ibadah haji yang bersifat global yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa jika ada dalil perintah wajib namun bersifat umum kemudian ada dalil lain yang merinci perintah umum tersebut, maka dalil lain yang merinci ini hukumnya adalah wajib pula.

Dalil Kedua

Shahabat Abdullah bin Umar radhiallahuanhu berkata,

كنّا نتحيّن فإذا زالت الشّمس رمينا

“Dahulu (pada zaman Nabi shalallahu’alaihi wasallam) kami menantikan waktu, maka apabila matahari telah tergelincir maka kami pun melempar.” (HR. al-Bukhari no. 1746)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Pada riwayat ini terdapat dalil bahwa tuntunan Nabi shalallahu’alaihi wasallam dalam melempar Jumrah pada hari selain hari Idul Adha (hari-hari Tasyriq) setelah tergelincirnya matahari. Inilah pendapat jumhur ulama. (lihat Fathul Bari, [3/678])

Dalil Ketiga

Al-Imam Malik rahimahullah meriwayatkan bahwa shahabat Abdullah bin Umar berkata, “Tidak boleh melempar jumrah pada tiga hari Tasyriq hingga matahari telah tergelincir.” (lihat al-Istidzkar, [4/353])

Ini menunjukkan bahwa para shahabat melarang melempar jumrah sampai tergelincir matahari. Maka melempar jumrah sebelum zawal dilarang dan diingkari oleh para shahabat Nabi shalallahu’alaihi wasallam.

Fatwa dan Madzhab Para Ulama

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah (w.204H/820M) berkata, “TIdak boleh melempar jumrah pada hari-hari Mina – selain jumrah pada hari an-Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah, pen) – kecuali setelah tergelincirnya matahari. Barangsiapa melempar jumrah sebelum tergelincir maka dia harus mengulangi.” (lihat al-Umm [2/234])

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah (w.676H/1278M) berkata, “Tidak boleh melempar jumrah pada tiga hari ini kecuali setelah zawal.” (lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [8/235])

Al-Mubarakfuri rahimahullah (w. 1353H/1934M) berkata “Yang benar adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Hadits-hadits dalam masalah ini semuanya membantah pihak yang berpendapat boleh melempar Jumrah sebelum zawal pada hari-hari setelah hari Nahr.” (lihat Tuhfah al-Ahwadzi [3/548])

Sangat jelas dari keterangan di atas bahwa melempar Jumrah pada hari-hari Tasyriq waktunya adalah setelah zawal (tergelincir) matahari dan tidak boleh sebelum tergelincir matahari. Ini merupakan madzab/pendapat Jumhur (mayoritas ulama), yaitu antara lain ini adalah pendapat:

⦁ Madzhab Malikiyyah (lihat al-Kafi fi Fiqh Ahli al-Madinah, [1/376]),
⦁ Madzhab Syafi’iyyah (lihat al-Hawi al-kabir- al-Mawardi, [4/194]; Majmu Syarh al-Muhadzdzab, [8/235]), dan
⦁ Madzhab Hanbaliyyah (lihat al-Mughni – Ibnu Qudamah, [3/399]).

Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa masalah ini adalah ijma’ (kesepakatan) pada ulama. Berikut penukilan dari kitab-kitab madzhab:

قال ابن المنذر: أجمعوا على أن من رمي الجمار في أيام التشريق بعد زوال الشمس أن ذلك يجزئه

Ibnu Mundzir rahimahullah (w. 319H/931M) berkata, “Para ulama sepakat bahwa barangsiapa melempar Jumrah pada hari-hari Tasyriq setelah zawal (tergelincir) matahari, bahwa itu adalah sah.” (lihat al-Ijma’, hal. 58).

Ulama lainnya yang juga menukilkan ijma’ dalam masalah ini, antara lain:

⦁ Ibnu Hazm (w. 456H/1063M) dalam kitab Maratib al-Ijma’, hal. 46.
⦁ Ibnu Abdil Barr (463H/1071M) dalam kitab at-Tamhid 14/254, 7/272; al-Istidzkar 4/353.
⦁ Ibnu al-Qaththan al-Fasi rahimahullah (w. 628H/1230M) dalam kitab al-Iqna’ fi Masail al-Ijma’ 1/279

Dalam kitab-kitab tersebut dijelaskan bahwa para ulama sepakat (ijma’) bahwa waktu agar sah melempar Jumrah pada hari-hari Tasyriq adalah setelah zawal (tergelincir) matahari. Berarti melempar sebelum zawal tidal sah.

Wallahu a’lam bishshawab

Penulis: Ustadz Abu Amr Alfian hafizhahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button