ALLAH, PEMILIK ILAHIYAH DAN UBUDIYAH –SERIAL ASMA’UL HUSNA–

Pembaca, kita bertemu lagi pada tema asma’ul husna. Pada seri sebelumnya, telah dibahas pentingnya mengimani nama-nama Allah disertai kaidah-kaidahnya. Dengannya ibadah seseorang akan semakin memiliki nilai dan arti. Dengannya pula seseorang akan semakin dekat dengan Allah. Sikap muraqabah, merasa diawasi oleh Allah, selalu ada. Sehingga, hidupnya semakin tenang. Jika merasa takut, ia yakin bahwa Allah dekat dengannya. Bila mendapat musibah, ia percaya bahwa pertolongan Allah tidak jauh darinya.
Di antara pokok keimanan kita kepada nama-nama Allah adalah sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama seratus kurang satu. Barangsiapa menjaganya (ahshaha) ia akan masuk ke dalam al-Jannah (surga).” (HR. al-Bukhari no. 6410 dan Muslim no. 2677)
Para ulama menjelaskan makna “أحصاها” pada hadits di atas sebagai berikut. Pertama, menghafal lafazh-lafazhnya. Kedua, memahami maknanya. Ketiga, mengimaninya. Keempat, beribadah kepada Allah dengan konsekuensi dari nama tersebut.
Pembaca, ternyata Allah memberikan pahala besar bagi yang mau menjaga nama-nama Allah tersebut. Tentunya, menjaga nama-nama Allah tidak sekedar menghafalnya saja. Akan tetapi, menjaga nama Allah itu disertai dengan memahami makna dan mengamalkan segala konsekuensi dari nama tersebut. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh para ulama.
Masuk ke dalam al-Jannah membutuhkan pengorbanan dan perjuangan. Mengorbankan harta, waktu, pikiran, tenaga dan kadang-kadang harus mengorbankan jiwa. Mendapatkan al-Jannah juga harus dengan berjuang. Berjuang melawan hawa nafsu, dan tidak jarang harus berjuang melawan musuh-musuh agama.
Kembali kepada pembahasan nama-nama Allah! Untuk bisa menjaga nama-nama Allah tersebut, sehingga bisa mendapatkan pahala al-Jannah, kita perlu memiliki ilmu tentangnya. Apa saja sembilan puluh sembilan nama tersebut?
Asma Allah tidak terbatas dalam jumlah tertentu
Sebelum melanjutkan, satu hal yang harus diyakini bersama, bahwa nama-nama Allah tidak terbatas pada bilangan tertentu. Nama Allah tidak terbatas pada sembilan puluh sembilan saja. Bahkan nama-nama Allah itu lebih daripada itu. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah saja.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi (artinya),
“Aku meminta kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang telah Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah satu hamba-Mu (Rasul), atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.” (HR. Ahmad)
Penggalan hadits (artinya), “atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu,” menunjukkan bahwa nama-nama Allah itu tidak terbatas.
Lalu bagaimana dengan hadits yang berisi bahwa nama Allah ada sembilan puluh sembilan? Apakah dua hadits tersebut bertentangan? Pembaca, perlu diyakini bahwa dalam agama Islam tidak ada dalil shahih yang bertentangan/kontradiksi. Mungkin sekilas memang terlihat bertentangan, namun jika dipahami seksama ternyata tidak.
Dijelaskan oleh para ulama, ternyata hadits pertama (yang berisi tentang sembilan puluh sembilan nama) menunjukkan keutamaan sembilan puluh sembilan nama tersebut. Yaitu, barangsiapa menjaganya dia akan masuk ke dalam al-Jannah. Sedangkan hadits kedua, berbicara tentang semua nama Allah.
Hal ini seperti seseorang yang memiliki banyak uang. Kemudian ia berkata, “Saya memiliki seratus ribu rupiah untuk sedekah dan infak.” Ucapan tersebut tidak berarti uangnya hanya seratus ribu saja. Bisa jadi, uang yang dimilikinya lebih daripada itu. Hanya saja, yang seratus ribu ia gunakan untuk sedekah.
Bahkan Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii berkata (artinya),
“Para Ulama bersepakat bahwasanya hadits ini (hadits yang berisi bahwa nama Allah ada sembilan puluh sembilan) tidak terkandung di dalamnya pembatasan terhadap nama-nama Allah. Maka maknanya bukan berarti bahwa tidak ada bagi-Nya nama-nama selain yang 99 nama ini. Hanya saja maksud hadits ini adalah bahwasanya barangsiapa yang menjaganya maka dia akan masuk al-jannah. Sehingga yang dimaksud adalah pengabaran tentang masuknya ke dalam al-jannah dengan menjaganya bukan pengabaran tentang batasan al asmaul husna.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim 17/5)
Demikian halnya dengan dua hadits di atas. Keduanya tidak bertentangan, karena konteksnya berbeda. Bahkan, kedua hadits tersebut justru saling melengkapi. Semoga pembaca bisa memahaminya, barakallahufikum.
Apa saja asma Allah itu?
Sekali lagi, untuk mendapatkan keutamaan al-Jannah dengan menghafal sembilan puluh sembilan asma’ul husna, membutuhkan ilmu tentangnya. Pertanyaan pertama, apa saja sembilan puluh sembilan nama itu?
Nama-nama tersebut akan kita bahas dalam serial asma’ul husna pada buletin kesayangan kita ini. Semoga pembahasan ini membantu kita untuk bisa mendapatkan keutamaan al-Jannah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah di atas.
Nama Pertama: Allah (الله)
Nama “Allah” adalah nama-Nya yang paling agung dan paling utama. Seluruh nama-nama-Nya kembali kepada nama “Allah”. Di antara dalil nama ini adalah firman Allah,
بِسْمِ اللَّهِ
“Dengan menyebut nama Allah.” (QS. an-Naml: 30)
Bagaimana kita menjaga nama-nama “Allah”? Setidaknya ada tiga hal yang dimaksud dengan menjaga nama Allah. Pertama, menghafal lafazhnya. Kedua, memahami maknanya. Ketiga, beribadah kepada-Nya sesuai konsekuensi/kandungan makna lafazh Allah.
Sekarang kita akan masuk pada poin pertama, yaitu menghafal lafazh Allah. Poin ini sangatlah mudah sekali. Seorang muslim, tentu tidak perlu susah payah menghafalkan nama ini. Setiap hari, ia pasti akan menyebut nama ini dalam berbagai kegiatan maupun ibadahnya.
Dalam seluruh aktivitasnya, seorang muslim disyariatkan menyebut nama ini. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali lisannya akan menyebut nama yang agung ini. Sehingga, secara otomatis lafazh Allah akan dihafal dengan mudah. Bahkan, balita muslim saja begitu akrab dan familiar dengan nama ini.
Poin kedua, memahami makna nama Allah. Pada poin ini setidaknya seorang muslim sedikit mengenal Bahasa Arab. Sebab, nama-nama Allah disebutkan dalam Bahasa Arab. Nama-nama tersebut bisa saja diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Namun, terjemahan asma Allah ke dalam bahasa lain belum mencakup keseluruhan makna yang dikandungnya.
Kenapa? Karena Bahasa Arab merupakan bahasa yang begitu lengkap. Kosakata dan tata bahasa selain Bahasa Arab tidak selengkap dan seindah Bahasa al-Qur’an ini. Bahasa lain banyak kekurangannya, baik dari kedalaman makna, ragam bahasa hingga pada keindahan kata.
Makna nama “Allah”
Secara bahasa, lafazh Allah berasal dari kata (أَلَهَ – يَأْلَهُ – أُلُوْهِيَّةً). Maknanya adalah (عَبَدَ – يَعْبُدُ – عُبُوْدِيَّةً), artinya menyembah dan beribadah. Jadi, makna lafazh Allah adalah Dia-lah Dzat yang disembah dan diibadahi, yang memiliki segala sifat uluhiyah dan ubudiyah (hak untuk diibadahi).
Sifat uluhiyah dan ubudiyah adalah sifat kesempurnaan yang hanya dimiliki oleh Allah. Sifat ini tidak dimiliki oleh siapapun selain-Nya. Jadi, Allah adalah satu-satunya Dzat yang wajib untuk diibadahi seperti Yang ditakuti, Yang diagungkan, Yang diminta, Yang diharapkan, dan lain-lain.
Sifat-sifat di atas tidak dimiliki oleh selain Allah. Dengan begitu, Allah adalah satu-satunya Dzat yang diibadahi dan disembah. Dia-lah satu-satunya yang diminta, ditakuti, diagungkan, diharapkan, disujudi dan berbagai bentuk ibadah lainnya.
Beribadah kepada-Nya sesuai konsekuensi/kandungan makna lafazh Allah
Pembaca, mengamalkan lafazh Allah tidak dilakukan hanya sekedar menyebut nama Allah saja. Bukan pula dengan membacanya dengan bilangan tertentu pada hari tertentu. Namun, ada hal lain yang jauh lebih penting daripada itu. Yaitu, mengamalkan konsekuensi dari nama tersebut.
Setelah mengetahui makna dari lafazh Allah, seseorang harus beribadah hanya kepada Allah saja. Inilah bentuk riil pengamalan nama tersebut. Allah berfirman (artinya),
“Yang demikian itu karena Allah adalah sesembahan yang benar, dan apa yang mereka sembah selain Allah adalah batil/salah.” (QS. Luqman: 30 dan al-Hajj: 62)
Allah tegaskan (artinya),
“Janganlah kamu menyembah sesembahan yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Yunus: 106-107)
Allah juga berfirman (artinya),
“Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?” (QS. al-Ahqaf: 5)
Kesimpulannya, kita tidak boleh meminta, berdoa, mengais berkah, memohon kesembuhan, dan lain-lain kepada selain Allah, baik kepada wali/orang shalih yang telah mati, pohon, batu, atau apapun selain Allah.
Bukankah Allah yang berhak disembah? Tentu! Dan bukankah selain Allah adalah makhluk yang lemah? Pasti!
Allah menceritakan kondisi orang yang meminta kepada selain Allah (artinya),
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari perbuatanmu.” (QS. Fathir: 13-14)
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk beramal dengan nama Allah. Amin. Wallahu a’lam.
Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy