Edisi Ramadhan

Fikih Puasa Di Bawah Bimbingan Fatwa Ulama

Edisi: 24 || 1440H
Tema: Ramadhan

بسم الله لرّحمان الرّحيم

Bolehkah orang yang sedang berpuasa disuntik? Batal atau tidak puasanya? Seringkali saudara-saudara kita kaum muslimin bertanya seperti itu, terutama di bulan Ramadhan. Beberapa permasalahan fikih kontemporer yang pada zaman dahulu belum ada, kini banyak bermunculan. Sikap bijak dan tepat untuk mendapatkan jawaban dari berbagai permasalahan tersebut adalah dengan bertanya kepada ahlinya.

Siapakah Ahlinya?

Tentu yang ahli dalam hal ini adalah para ulama. Mereka adalah para pewaris ilmu dari para nabi. Alhamdulillah berbagai hukum dan permasalahan kekinian (kontemporer) seputar puasa Ramadhan telah dijawab dan dijelaskan dengan tuntas oleh ulama kita. Tidak hanya hukum terkait suntik bagi orang yang berpuasa, pada edisi kali ini akan disebutkan beberapa perkara yang banyak ditanyakan, apakah perkara tersebut membatalkan puasa atau tidak? Semuanya telah dijawab oleh para ulama. Mari kita menyimak dan mencermatinya. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

Hukum Suntik ketika Berpuasa

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kesimpulan yang diambil setelah kami melihat, membahas, dan memperhatikan permasalahan ini adalah bahwa suntikan ada dua macam:

Pertama, suntikan yang berfungsi dan berperan sebagai makanan dan minuman (contohnya adalah infus). Seseorang tidak lagi membutuhkan makan dan minum karena sudah tercukupi dengan infus ini. Yang seperti ini membatalkan puasa karena tindakan ini sama saja dengan makan dan minum.

Kedua, Suntikan yang tidak berfungsi atau berperan sebagai makanan dan minuman. Ini tidak membatalkan puasa.
Sama saja apakah zat yang disuntikkan tadi mengandung penguat bagi tubuh atau tidak. Sama saja apakah suntikan itu diberikan melalui urat maupun daging. Wallahu a’alm. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, [19/161])

Hukum Mengunakan Alat Bantu untuk Meringankan Pernapasan (Nebulizer dan yang sejenisnya) Bagi Penderita Asma

Obat bagi penderita Asma biasanya ada dua:

Pertama, obat dalam bentuk kapsul, tablet, atau semisalnya. Tentunya kalau diminum akan membatalkan puasa. Sehingga jangan menggunakan obat ini ketika sedang berpuasa kecuali dalam keadaan darurat. Jika kondisi darurat yang mengharuskan dia minum obat tersebut, maka batal puasanya dan harus menggantinya di hari yang lain. Bila ternyata penyakit ini terus menerus diderita oleh seseorang (dan tidak bisa diringankan/diatasi kecuali dengan oabat-obatan ini) maka dia dihukumi seperti orang tua (yang tidak mampu lagi berpuasa), sehingga ia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin setiap harinya.

Kedua, obat dalam bentuk gas/uap. Ketika dihirup akan meringankan sesak nafas yang dialalmi penderita asma. Yang seperti ini boleh digunakan, tidak membatalkan puasa, dan puasanya tetap sah. (Fatawa fi Ahkam ash-Shiyam, hal. 210)

Apabila Badan Terasa Tidak Enak, Mual dan Mau Muntah

Muntah dengan sengaja membatalkan puasa. Namum apabila muntahnya tidak disengaja, puasanya tidak batal. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda (artinya), “Barangsiapa muntah secara spontan, maka tidak ada kewajiban untuk mengganti puasanya. Namun apabila muntah secara sengaja, maka dia harus mengganti puasanya hari yang lain.” (HR. at-Tirmidzi no. 653, Ibnu Majah no. 1666)

Apa yang harus dilakukan apabila terasa mau muntah? Karena masuk angin, mual, dan semisalnya? Apakah ditahan (karena khawatir puasanya batal) ataukah dikeluarkan (dimuntahkan)?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa jika kondisinya seperti itu, maka jangan ditahan dan jangan pula dikeluarkan. Akan tetapi biarkan secara alami kondisi badan seperti itu. Karena kalau sengaja dimuntahkan, maka akan membatalkan puasa. Tapi kalau ditahan, maka tentu akan memudharatkan badan. Sehingga biarkan saja. Jika muntah dengan sendirinya, hal itu tidak memudharatkan badan dan tidak pula membatalkan puasanya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, [19/170])

Orang yang Berpuasa Diambil Darahnya untuk Keperluan Diagnosa atau Donor Darah

Asy-Syaikh ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum orang yang sedang berpuasa, darahnya diambil untuk keperluan donor atau untuk diagnosa, maka beliau menjawab, “Tidak mengapa orang yang sedang berpuasa diambil darahnya sebagai sempel untuk keperluan diagnosa maupun tes darah.

Adapun donor darah, yang tampak adalah bahwa darah yang diambil itu sangat banyak, sehingga dihukumi seperti bekam. Maka dikatakan kepada orang yang berpuasa wajib (seperti Ramadhan), “Janganlah anda melakukan donor darah kecuali dalam keadaan darurat. Jika dalam kondisi darurat, tidak mengapa!” Seperti jika para dokter mengatakan, “Orang yang sedang kekurangan darah ini apabila tidak segera dilakukan transfusi darah, ia besar kemungkinan akan meninggal!”

Manakala ada orang yang sedang berpuasa, sementara dokter mengatakan, “Harus dilakukan donor darah untuk orang tersebut sekarang!”, maka pada saat seperti itu dibolehkan bagi orang yang berpuasa melakukan donor darah, kemudian berbuka setelah itu, makan dan minum di sisa waktu pada hari itu. Hal tersebut dibolehkan karena ia berbuka (membatalkan) puasanya karena darurat (dan wajib mengganti di hari yang lain, pent-), seperti halnya menyelamatkan orang kebakaran atau tenggelam.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, [19/186])

Bila Seorang Wanita Mengalami Haid Sesaat Setelah Terbenamnya Matahari dan Dia Belum Sempat Mengerjakan Shalat Maghrib. Sahkah Puasanya Pada Hari itu?

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam permasalahan ini, yaitu:

1. Apabila seorang wanita yang berpuasa mengalami haid lima menit sebelum matahari terbenam, maka puasanya batal.

2. Apabila haid tersebut datang lima menit setelah terbenamnya matahari (walaupun ia belum mengerjakan shalat maghrib), maka puasanya pada hari itu tetap sah dan tidak batal.
Tidak sedikit dari para wanita yang memahami bahwa apabila haid itu datang setelah terbenamnya matahari dan ia belum shalat maghrib, maka puasa di hari itu batal. Anggapan ini tidak benar. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, [20/101])

Hukum Mengoleskan Krim Pelembab di Bibir untuk Menjaga Kelembabannya

Tidak mengapa menggunakan sesuatu yang bisa menjaga kelembaban bibir dan juga hidung dengan krim tertentu atau membasahinya dengan air. Namun hendaknya tetap waspada jangan sampai masuk ke dalam perutnya.

Bila ternyata ada yang sampai masuk ke dalam perutnya tanpa disengaja, maka ini tidak mengapa. Sebagaimana kalau seseorang berkumur dan ada air yang masuk ke dalam perutnya, hal ini tidak membatalkan puasa. (Fatawa fi Ahkam ash-Shiyam, hal. 224)

Manggunakan Obat Tetes Mata dan Telinga Tidak Membatalkan Puasa, Tetapi Obat Tetes Hidung Bisa Membatalkan Puasa. Bagaimana penjelasannya?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Tidak mengapa bagi orang yang berpuasa memakai celak mata, atau menggunakan obat tetes mata dan tetes telinga, walaupun obat tetes tersebut terasa sampai di tenggorokannya.

Adapun obat tetes hidung, kalau obat tersebut masuk sampai ke bagian dalam tubuh (pencernaan)nya, maka ini membatalkan puasa. Bila tidak sampai masuk, maka tidak membatalkan puasa.
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda (artinya), “Bersungguh-sungguhlah (maksimalkan) dalam menghirup air ke hidung ketika berwudhu, kecuali kalau kamu sedang berpuasa!” (HR. Abu Dawud no. 123, at-Tirmidzi no. 718)

Bolehkah Menggosok Gigi dengan Menggunakan Pasta Gigi ketika Berpuasa?

Dibolehkan menggosok gigi dengan menggunakan pasta gigi. Puasanya tidak batal asalkan berhati-hati agar jangan sampai ada yang masuk ke dalam tubuhnya. Kalau tidak disengaja ada yang masuk setelah dia berusaha menghindarinya, hal ini tidak mengapa. (Majmu’ Fatawa ibn Baz, [15/260])

Namun yang lebih berhati-hati adalah tidak menggosok gigi dengan pasta gigi selama berpuasa, karena terkadang ada sedikit dari pasta tersebut yang masuk ke dalam tubuh tanpa disadari. Bila ingin menggosok gigi dengan pasta, lakukan di malam hari. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, [19/263])
Berhati-hatilah! Sebatas Berniat untuk Membatalkan Puasa Pun Bisa Membatalkan Puasa

Barangsiapa yang berniat membatalkan puasanya sebelum tiba waktunya berbuka, maka puasanya batal walaupun ia tidak melakukan sesuatu yang membatalkan puasa (seperti makan, minum, dan lainnya).

Mengapa demikian?

Karena niat merupakan salah satu rukun puasa, sehingga apabila seseorang bermaksud dan berniat membatalkan puasanya dengan sengaja, maka otomatis puasanya batal. (Kitab al-Fiqh al-Muyassar no. 718)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ditanya, “Ada seseorang yang melakukan safar dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia berniat untuk berbuka (membatalkan puasanya). Kemudian ternyata ia tidak mendapatkan sesuatu (makanan/minuman) yang bisa ia konsumsi untuk membatalkan puasanya sampai maghrib. Apakah puasanya sah?
Beliau menjawab, “Puasanya tidak sah, dan wajib baginya untuk mengganti di hari yang lain. Hal itu karena ia berniat untuk berbuka (membatalkan puasanya), maka otomatis puasanya batal.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, [19/134])

Demikianlah beberapa masalah kontemporer seputar puasa yang bisa disampaikan dalam buletin ini. Adapun permasalahan-permasalahan lainnya, semoga kami diberikan kemudahan untuk membahasnya pada kesempatan yang lain.

Akhir kata, semoga ibadah puasa kita di bulan istimewa dan penuh barakah ini diterima di sisi-Nya. Amiin

Wallahu a’lam bish shawwab.

Penulis: Ustadz Abu Abdillah hafizhahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button