Adab-adab Shaum (Puasa) bagi Seorang Muslim
Buletin Islam al Ilmu Edisi No : 34 / IX / VIII / 1431
Segala puji hanya milik Allah, Rabb Yang Maha Pencipta dan Pengatur Alam Semesta ini. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, para shahabat radliyallahu ‘anhum, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Pembaca –semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, dalam menunaikan ibadah puasa seorang muslim harus memperhatikan adab-adabnya. Tidak cukup dengan hanya meninggalkan makan dan minum saja tanpa memperhatikan adab-adabnya. Dengan memperhatikan adab-adabnya, ibadah puasa yang dilaksanakan akan lebih sempurna dan bernilai di sisi Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Diantara adab-adab puasa yang harus diperhatikan adalah:
1. Makan Sahur dan Mengakhirkannya
Prosesi makan sahur merupakan suatu ibadah tersendiri bagi seorang yang akan berpuasa. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkannya dan menjelaskan bahwa didalamnya terdapat barokah, sebagaimana dalam sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
”Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam makan sahur tersebut terdapat barokah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kaum muslimin agar makan sahur ketika hendak menjalankan ibadah puasa, sekaligus menjelaskan hikmah dari makan sahur. Diantara barokah yang terdapat dalam makan sahur, adalah sebagai berikut:
– Melaksanakan perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Tidak diragukan bahwa dalam melaksanakan perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam terdapat kebaikan dan barokah. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imron: 31)
Ini adalah salah satu diantara bentuk barokah yang dapat diraih dari melaksanakan dan mengikuti perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam .
– Makan sahur sebagai pembeda antara puasa kaum muslimin dengan puasa ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani)
Hal ini dikarenakan tidak ada makan sahur dalam puasa ahlul kitab. Mereka makan sebelum pertengahan malam, kemudian memulai ibadah puasanya dari pertengahan malam hingga pertengahan siang. Akan tetapi kaum muslimin disyari’atkan untuk makan sahur di akhir malam, yang diantara hikmahnya adalah dalam rangka menyelisihi ahlul kitab. Perbuatan menyelisihi ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) merupakan perbuatan yang diridhoi oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala, karena mereka adalah musuh-musuh Allah, maka dalam perbuatan menyelisihi mereka terkandung keridhoan Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Dan sebaliknya, dalam perbuatan yang menyerupai mereka dikhawatirkan akan mendatangkan kemurkaan dan adzab Allah Subhanallahu wa Ta’ala kepada umat manusia.
– Menguatkan tubuh, sehingga mampu menahan rasa lapar dan dahaga sepanjang hari, yang pada kebiasaan, seseorang makan tiga kali dalam sehari dan minum berkali-kali.
Akan tetapi, Allah Subhanallahu wa Ta’ala menjadikan adanya barokah dengan makan sahur, sehingga mampu menahan lapar dan dahaga sepanjang hari, meskipun dalam keadaan cuaca yang sangat panas atau sedang berada di negeri yang waktu siangnya lebih panjang daripada waktu malamnya.
– Membantu seorang muslim dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala, yaitu ibadah puasa.
Segala sesuatu yang membantu dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala merupakan kebaikan dan keberkahan.
Ketika melaksanakan prosesi ibadah makan sahur, jangan lupa meniatkannya untuk mencontoh dan meneladani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, serta menyelisihi ahlul kitab. Karena beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam makan sahur dan memerintahkannya. Adapun pelaksanaan prosesi makan sahur yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah di akhir malam. Dimana selesai makan sahur, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bangkit untuk menegakkan shalat shubuh. Jarak antara makan sahur beliau dengan shalat shubuh, kurang lebih cukup untuk membaca Al-Qur`an sebanyak lima puluh ayat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh shahabat Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu:
أَنَّ نَبِىَّ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ تَسَحَّرَا ، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِىُّ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الصَّلاَةِ فَصَلَّى . قُلْنَا لأَنَسٍ : كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِى الصَّلاَةِ؟ قَالَ : قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً
“Sungguh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah makan sahur bersama Zaid bin Tsabit. Seusai mereka berdua dari makan sahur, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bangkit untuk menegakkan shalat (shubuh).” Kami (perawi atau periwayat hadits–pen) bertanya kepada Anas radliyallahu ‘anhu: “Berapa jarak antara selesainya mereka berdua makan sahur dengan masuknya mereka berdua ke dalam shalat?” Anas radliyallahu ‘anhu menjawab: “Kurang lebih cukup untuk membaca Al-Qur`an sebanyak lima puluh ayat.” (HR. Al-Bukhari)
2. Menyegerakan berbuka
Diantara adab seorang yang berpuasa adalah menyegerakan berbuka apabila telah tiba waktunya, yaitu ketika matahari telah terbenam.
Orang yang menyegerakan berbuka akan senantiasa berada dalam kebaikan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama ia menyegerakan berbuka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dapat dipahami dari hadits tersebut bahwa apabila manusia tidak menyegerakan berbuka, maka mereka tidak berada dalam kebaikan.”
Diantara hikmah menyegerakan berbuka puasa adalah:
– Senantiasa berada dalam kelapangan dan lega
– Lebih kuat dalam beribadah
– Bertambahnya pahala, karena merupakan perbuatan berpegang teguh dengan sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
– Menyelisihi kaum Yahudi, karena mereka biasa mengakhirkannya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ ، عَجِّلُوا الْفِطْرَ فَإِنَّ الْيَهُودَ يُؤَخِّرُونَ
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama masih menyegerakan berbuka. Bersegeralah berbuka karena sesungguhnya orang-orang Yahudi mengakhirkannya.” (HR. Ibnu Majah)
3. Membaca do’a tatkala berbuka puasa
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ الله
“Telah hilang dahaga dan telah basah urat dan telah tetap pahalanya insya Allah.” (HR. Abu Dawud)
Makanan terbaik untuk berbuka puasa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah memberi contoh dalam segala hal, termasuk dalam makanan terbaik untuk berbuka puasa. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah), atau dengan tamr (kurma kering) jika tidak ada ruthab, atau dengan air jika tidak ada tamr. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam hadits Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu:
“Dahulu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berbuka puasa dengan beberapa butir ruthab sebelum beliau shalat (maghrib). Apabila beliau tidak mendapatinya, beliau berbuka puasa dengan beberapa butir tamr. Apabila beliau tidak mendapatinya, beliau berbuka puasa dengan meminum beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad)
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim berbuka puasa dengan apa yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berbuka puasa dengannya. Yaitu dengan ruthab, jika ada. Jika tidak ada, maka dengan tamr. Jika tidak ada, maka dengan air.
4. Menjauhi perkara-perkara yang dapat mengurangi kesempurnaan pahala puasa atau merusak puasa
Para pembaca rahimakumullah, termasuk dalam adab berpuasa adalah menjauhi perkara-perakara yang dapat merusak atau mengurangi pahala puasa, seperti berdusta, ghibah (gosip, membicarakan kejelekan, kekurangan, atau aib orang lain), namimah (mengadu-domba), atau segala perkataan dan perbuatan yang tidak baik atau diharamkan.
Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah menjelaskan hikmah dari puasa yang diwajibkan kepada kaum muslimin (puasa Ramadhan), yaitu agar mereka bertaqwa, sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183)
Konsekuensi dari ketaqwaan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala adalah melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta, bahkan berbuat kedustaan, dan kebodohan, maka Allah tidak butuh terhadap perbuatan meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya–red).” (HR. Al-Bukhari)
Jika seorang muslim hanya sekedar meninggalkan makan dan minum saja, tanpa meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan, maka ia hanya akan mendapatkan rasa lapar dan dahaganya saja. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
“Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali rasa lapar saja, dan berapa banyak orang yang shalat malam (shalat tarawih) tidak mendapatkan apa-apa dari shalatnya, kecuali hanya tidak tidur malam (begadang) saja.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi)
Pembaca rahimakumullah, semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala mengaruniakan kepada kita kemudahan untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Semoga pula Allah menerima amalan-amalan kita, serta mengampuni dosa-dosa kita semua. Amin Ya Mujibas Sailin.
Wallahu A’lam Bishshawab