Fiqih

Mari Ramaikan Masjid dengan Shalat Berjamaah

judul edisi 12

Masjid merupakan sebuah tempat suci yang tidak asing lagi kedudukannya bagi umat Islam. Masjid selain sebagai pusat ibadah umat Islam, ia pun sebagai lambang kebesaran syiar dakwah Islam. Alhamdulillah…, kaum muslimin pun telah terpanggil untuk bahu-membahu membangun masjid-masjid di setiap daerahnya masing-masing. Hampir tidak dijumpai lagi suatu daerah yang mayoritasnya kaum muslimin kosong dari masjid. Tak ada lagi keluhan (jarang) dari kaum muslimin untuk menunaikan shalat lima waktu secara berjamaah di masjid.

          Bahkan terlihat renovasi bangunan masjid-masjid semakin semarak dan mencolok. Masjid-masjid semakin diperlebar dan diperindah serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas, agar dapat menarik dan membuat nyaman jama’ah.

          Bila kita mau menengok kondisi masjid-masjid yang ada, baik di kampung maupun di kota, maka semakin sepi dari jama’ah. Bahkan ada beberapa masjid (baca: banyak) yang tidak menegakkan shalat berjamaah lima waktu secara penuh. Mungkin yang mayoritas jarang kosong dari jama’ah, shalat Maghrib dan Isya’. Walaupun tak jarang juga didapati masjid yang berukuran megah dan mewah cuma menegakkan shalat berjamaah maghrib saja. Bahkan tak jarang juga yang menjadi imam dan makmum ialah sekaligus dirangkap oleh muadzin sendiri, demikianlah kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

          Boleh jadi ada yang menyangkal, “hukum menegakkan shalat berjamaah di masjid itu  bukanlah wajib, namun sebatas sunnah saja. Sehingga tidak mengapa shalat berjamaah di rumah bersama sanak keluarga,” katanya.

          Apakah pendapat di atas sesuai dengan praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, dan para ulama salaf?

          Para pembaca, dalam edisi kali ini akan dimuat pembahasan keutamaan dan kedudukan shalat berjamaah lima waktu di masjid menurut timbangan agama Islam yang benar. Yang semata-mata sebagai nasehat untuk kita bersama, untuk mewujudkan kemakmuran masjid-masjid yang merupakan pusat syiar-syiar Islam dan mewujudkan hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla yang benar-benar beriman kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (artinya),

“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat.” (at-Taubah: 18).

 Keutamaan Mengerjakan Shalat berjamaah Di Masjid

          Berikut ini beberapa keutamaan bagi orang yang pergi untuk shalat berjamaah lima waktu di masjid, di antaranya,

1. Mendapat naungan dari Allah ‘azza wa jalla pada hari kiamat.

          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tujuh orang yang Allah akan menaungi mereka pada suatu hari (hari kiamat) yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; (diantaranya) Seorang penguasa yang adil, pemuda yang dibesarkan dalam ketaatan kepada Rabbnya, seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, ….” (Muttafaqun a’laihi)

2. Mendapat jaminan dari Allah ‘azza wa jalla di dunia dan di akhirat.

          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَرَجُلٌ رَاحَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُ فَيَدْخُلُ الْحَنَّةَ

“Seseorang yang pergi ke masjid maka ia mendapat jaminan dari Allah sampai ia diwafatkan dan dimasukkan ke dalam Al Jannah (surga).” (HR. Abu Dawud no. 2494, dishahihkan oleh asy-Syaikh al- Albani rahimahullah).

3. Terhapusnya dosa-dosa dan terangkatnya beberapa derajat.

          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan mengahapuskan dosa-dosa, dan mengangkat dengannya berapa derajat? Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan susah (sulit), memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, karena demikian itulah yang dinamakan Ribath.” (HR. Muslim no. 251)

4. Mendapat balasan seperti haji.

          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan berwudhu’ untuk shalat lima waktu (secara berjamaah di masjid), maka pahalanya seperti pahala orang berhaji yang memakai kain ihram.” (HR. Abu Dawud no. 554, dan di hasankan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah).

5. Mendapat cahaya sempurna pada hari kiamat.

          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظُّلْمِ إِلَى الْمسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَومَ القِيَامَةِ

“Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 561, dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah).

6. Disediakan baginya al-Jannah.

          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْغَدَاإِِلَىالْمَسْجِدِوَرَاحَأَعَدَّاللهُلَهُنُزَلَهُمِنَاْلجَنَّةِكُلَّمَاغَدَاأَوْرَاَحَ

“Barang siapa pergi ke masjid dan kembali (darinya), Allah ‘azza wa jalla akan menyediakan tempat baginya di Al Jannah setiap ia pergi maupun kembali.” (Muttafaqun ‘alaihi)

7. Mendapat dua puluh lima/dua puluh tujuh derajat dari pada shalat sendirian

          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً

”Shalat berjamaah lebih utama dengan memperoleh dua puluh lima derajat dari pada shalat sendirian (dalam riwayat  lain: dua puluh tujuh)”. (HR. al-Bukhari no. 645-646).

 Allah ‘azza wa jalla Menyeru Untuk Shalat Bersama-Sama Orang Yang Shalat

          Para pembaca, simaklah firman Allah  ‘azza wa jalla (artinya),

“Dirikanlah shalat dan keluarkan zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (al-Baqarah: 43)

          Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa kandungan makna ayat di atas dijadikan dalil oleh mayoritas ulama tentang kewajiban menghadiri shalat berjamaah. Karena Allah ‘azza wa jalla memerintahkan untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’, yang artinya shalatlah secara berjamaah.

          Lebih tegas lagi, Allah ‘azza wa jalla memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya untuk tetap menegakkan shalat berjamaah walaupun pada saat perang berkecamuk, yang dikenal dengan shalatul khauf. (Lihat dan baca surat an-Nisaa’: 102)

 Ancaman Terhadap Orang Yang Meninggalkan Shalat berjamaah

          Berikut ini beberapa ancaman bagi orang yang enggan untuk shalat berjamaah, di antaranya,

1. Hatinya tertutup dari rahmat Allah ‘azza wa jalla

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجَمَاعَةَ، أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ

“Sungguh hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat berjamaah atau pasti Allah ‘azza wa jalla benar-benar akan menutup hati-hati mereka, kemudian pasti mereka menjadi golongan orang-orang yang lalai.” (HR. Ibnu majah no. 794, lihat ash-Shahihah no. 2967 karya asy-Syaikh al-Albani rahimahullah).

2. Meninggalkan shalat berjamaah tanda kemunafikan.

          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ

“Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik daripada shalat fajar dan isya’.” (HR. al-Bukhari no. 657)

          Bila seseorang enggan shalat berjamaah shubuh atau isya’ saja dikhawatirkan munafik, bagaimana bila ia enggan mengahadiri shalat berjamaah selain shubuh dan isya’? Padahal menghadiri shalat berjamaah selain pada kedua waktu tersebut lebih mudah (ringan).

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam akan membakar rumah-rumah orang yang enggan menghadiri shalat berjamaah.

          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin menyuruh untuk mengumpulkan kayu bakar lalu aku perintah untuk menegakkan shalat dan adzan, dan aku perintah seseorang untuk menjadi imam, kemudian aku keluar mendatangi mereka (kaum laki-laki yang tidak menghadiri shalat berjamaah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka beserta penghuninya.” (HR. al-Bukhari no. 644)

 Kesimpulan

          Kalau kita membaca kitab-kitab karya para ulama, maka ada perbedaan pendapat tentang hukum shalat berjamaah. Di kalangan madzhab asy-Syafi’i sendiri terdapat tiga pendapat, yaitu,

1. Sunnah muakkadah,

2. Fardhu kifayah, dan

3. Fardhu ‘ain.

          Al-Imam an-Nawawi rahimahullah salah satu Imam besar yang bermadzhab asy-Syafi’i menguatkan pendapat fardhu kifayah, (Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim hadits no. 245).

          Para pembaca, adapun pendapat para ulama (baik yang bermadzhab asy-Syafi’i rahimahullah atau selainnya) yang menyatakan bahwa shalat berjamaah di masjid itu adalah fardhu ‘ain (wajib), maka sangat kuat sekali. Mereka berdalil dengan kedua ayat di atas (al-Baqarah: 43 dan an-Nisaa’: 102) dan hadits-hadits yang memuat ancaman bagi orang yang melalaikannya. Hanya dengan dalil-dalil tersebut pendapat mereka sudah sangat kuat. Namun mereka memperkuat pendapatnya dengan hadits Abdullah ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Yaa Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang yang buta, rumah saya jauh dari masjid, sebenarnya saya memilki penuntun namun ia tidak mau mengantarku, apakah ada bagiku keringanan? Rasulullah menjawab: “Apakah kamu mendengar adzan? Ia menjawab: “Ya.” Rasulullah menjawab lagi: “Tidak ada keringanan bagimu.” (HR. Muslim no. 653)

          Cobalah perhatikan kondisi Abdullah ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu yang sudah tua, buta, tidak ada penuntun baginya, dan rumahnya pun jauh dari masjid, tapi ia  tetap diwajibkan untuk menghadiri shalat berjamaah! Hadits ini secara jelas memperkuat pendapat ulama tentang kewajiban shalat berjamaah.

          Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa yang berpendapat bahwa shalat berjamaah itu fardhu ‘ain dari kelompok Muhadditsin (para ahli hadits) pengikut al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah antara lain Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Mundziri, dan Ibnu Hibban. (Lihatlah Fathul Bari hadits no. 644)

          Al-Imam al-Mundziri rahimahullah menukilkan dari al-Imam Abu Tsaur, bahwasanya dia pernah berkata: “Bahwa shalat berjamaah adalah wajib, tidak ada keringanan bagi siapa saja yang meningalkannya kecuali dengan udzur.” (al-Ausath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf  4/138).

          Sedangkan al-Imam asy-Syafi’i  rahimahullah sendiri berfatwa dalam kitabnya “al-Umm” Bab Shalatul Jama’ah 1/277: “Tidaklah aku memberi keringanan bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan shalat berjamaah dan enggan untuk mendatanginya, kecuali dengan udzur (alasan yang diterima oleh syari’at –pent).”

          Para pembaca, ketahuilah bahwa yang diwajibkan untuk menghadiri shalat berjamaah di masjid adalah kaum laki-laki yang sudah baligh saja. Adapun wanita muslimah, tidak ada larangan untuk shalat berjamaah di masjid, meskipun shalat wanita di rumahnya lebih baik baginya. Sehingga tidak selayaknya bagi seorang muslim laki-laki yang benar-benar beriman kepada Allah ‘azza wa jalla meremehkan perihal shalat berjamaah di masjid.

          Akhir kata, semoga tulisan yang sederhana ini dapat membuka hati orang-orang yang selama ini jauh dari masjid, dan semakin memperkokoh orang-orang yang selalu rutin shalat berjamaah di masjid. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.


 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button