FiqihManhaj

Apabila Kesaksian Hilal Ditolak oleh Pemerintah

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.”

(An-Nahl : 43)

Para pembaca rahimakumullah, hendaknya kita bertanya kepada orang yang berilmu, terpercaya kejujuran dan ketakwaannya, dikenal dengan kebersihan aqidah dan kelurusan manhajnya, sehingga kita mendapatkan bimbingan dalam permasalahan yang kita tidak mengerti.

Dalam kesempatan kali ini kami bawakan tanya jawab bersama asy-Syaikh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, seorang alim yang tidak diragukan lagi kapasitas keilmuan, serta dikenal keshalihan dan ketakwaannya; hal ini sebagaimana diakui oleh kawan maupun lawan. Beliau adalah seorang mufti yang disegani dan kharismatik baik di kalangan alim ulama, pemerintah, maupun umat secara umum. Beliau juga dikenal berjalan di atas prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Tidaklah kami membawakan fatwa beliau di sini karena hendak bertaklid atau fanatik buta kepada beliau, tidak pula karena meyakini beliau ma’shum. Namun semata-mata kita mengambil faidah dari ilmu dan bimbingan seorang ulama. Beliau tidaklah menjawab kecuali berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah (Al-Hadits), serta bimbingan para ‘ulama dari kalangan Salaful Ummah. Pedoman inilah yang kita jadikan pegangan.

 

Apabila Persaksian Hilal Ditolak oleh Pemerintah

            Pertanyaan:

Apabila seseorang berhasil melihat hilal namun tidak mungkin menyampaikannya kepada lembaga yang berwenang, atau dia menyampaikannya namun persaksiannya ditolak, apa yang harus ia lakukan? Apakah dia berpuasa sendiri (yakni berdasarkan hilal yang telah ia lihat tersebut)? Demikian pula kalau kejadiannya adalah hilal Idul Fitri, apakah ia berhari raya sendirian?

            Jawab: Sebagian ulama berpendapat bahwa orang tersebut berpuasa sendirian. Namun pendapat yang benar adalah bahwa dia tidak boleh berpuasa sendirian, dan tidak boleh pula ber-Idul Fitri sendirian. Namun yang wajib atasnya adalah berpuasa bersama keumuman manusia (yakni pemerintah)  dan beridul fitri bersama keumuman manusia (yakni pemerintah). Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

 الصَوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Hari berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa (yakni bersama pemerintah), hari ‘Idul Fitri adalah hari ketika kalian semua ber’idul fitri (yakni bersama pemerintah), dan hari ‘Idul Adha adalah hari ketika kalian semua ber’idul Adha (yakni bersama pemerintah).” (HR. at-Tirmidzi no. 697)

Kecuali jika dia hidup sendirian di tengah gurun luas (atau hutan rimba yang luas, pent) yang tidak ada seorang pun bersama dia, maka boleh baginya berpegang pada ru’yah-nya sendiri, baik untuk berpuasa maupun ‘idul fitri. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Baz 15/73)

 

Persatuan Kaum Muslimin dalam Penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri

            Pertanyaan:

Imam Al-Azhar menyatakan pada permulaan Ramadhan Mubarak tentang pentingnya penyatuan Ru`yatul Hilal di seluruh alam Islam dan meminta kesepakatan seluruh kaum muslimin demi mewujudkannya. Bagaimana pendapat anda dan apakah hal tersebut mungkin?

            Jawab: Tidak diragukan bahwa persatuan kaum muslimin dalam memulai Puasa dan ‘Idul Fitri merupakan suatu hal yang bagus, disenangi oleh hati, dan dituntunkan dalam syari’at jika memungkinkan. Dan tidak ada cara untuk mewujudkan persatuan tersebut kecuali dengan dua cara:

Pertama, seluruh kaum muslimin harus meninggalkan hisab falaki, sebagaimana dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, demikian pula Salaful Ummah meninggalkannya. Dan beramal dengan ru’yah atau istikmal (menyempurnakan menjadi 30 hari), sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan dalam Majmu’ Fatawa (XV/132-133) kesepakatan para ‘ulama bahwa tidak boleh berpegang kepada hisab falaki dalam penentuan Ramadhan, ‘Idul Fitri, atau yang semisalnya. Demikian pula al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (IV/127) menukilkan dari al-Baji, kesepakatan (ijma’) salaf untuk tidak berpegang kepada hisab, dan bahwa ijma’ salaf merupakan hujjah bagi umat yang datang setelah mereka.

Kedua, umat harus konsisten perpatokan kepada ru`yah di seluruh Negara Islam, semua harus menerapkan syari’at Allah dan konsekuen di atas hukum-hukum-Nya. Apabila ru`yatul hilal telah pasti berdasarkan bukti (persaksian) yang bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i – baik untuk menentukan masuk atau keluarnya Ramadhan – maka wajib mengikuti ru`yah tersebut. Demi mengamalkan sabda baginda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ

“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari).” (HR. Muslim no. 1081)

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا . وَأَشَارَ بِيَدِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَعَقَدَ إِبْهَامَهُ فِيْ الثَّالِثَةِ . وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا . وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ كُلِّهَا

“Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung. Satu bulan itu begini, begini, dan begini – beliau menunjukkan (bilangan 10) dengan tangannya sebanyak tiga kali namun melipat ibu jarinya pada kali ketiga – satu bulan itu juga bisa begini, begini, dan begini – beliau menunjukkan (bilangan 10) dengan jari-jarinya semuanya –.” (HR. al-Bukhari no. 1913, Muslim no. 1080) yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa dalam satu bulan itu terkadang 29 hari, dan terkadang 30 hari.

Hadits-hadits dengan makna ini (perintah hanya berpegang pada ru`yatul hilal atau istikmal ketika mendung) sangat banyak, diriwayatkan dari shahabat Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Hudzaifah Ibnul Yaman, dan selain mereka g. Tentu saja, perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut tidak hanya ditujukan kepada penduduk Madinah ketika itu saja, namun itu merupakan perintah kepada seluruh umat pada setiap tempat dan zaman hingga hari kiamat.

Maka apabila terpenuhi dua hal di atas, memungkinkan terwujudnya persatuan seluruh negeri kaum muslimin dalam penentuan puasa dan ‘Idul Fitri. Maka kita memohon kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa agar memberikan taufiq kepada seluruh kaum muslimin untuk mewujudkannya. Serta membantu mereka agar mau berhukum dengan Syari’at Islamiyyah (di antaranya menggunakan/ berpedoman kepada ru`yah untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, pent) dan menolak segala hukum yang bertentangan dengannya (di antara berpedoman kepada hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, pent). Tidak diragukan bahwa itu (berpegang kepada hukum Islam) merupakan kewajiban umat Islam, berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa (yang artinya):

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65) Dan ayat-ayat lainnya yang semakna dengannya.

Tidak diragukan bahwa berhukum dengan Syari’at Islamiyyah dalam segala urusan kaum Muslimin merupakan kebaikan, keselamatan, persatuan barisan mereka, dan kemenangan kaum Muslimin terhadap musuh-musuhnya, serta kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Maka sekali lagi kita memohon kepada Allah agar melapangkan dada mereka untuk berhukum dengan Syari’at-Nya dan membantu mereka untuk itu. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Dekat. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Baz 15/74-76)

Wallahu a’lam bish shawab.

Penerjemah: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’ala

 

Hadits Dha’if yang Banyak Tersebar di Bulan Ramadhan

Hadits pertama,

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

“Bulan Ramadhan itu awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan di akhirnya pembebasan dari api neraka.” (Hadits Mungkar)

Hadits ini dikeluarkan oleh al ‘Uqaili dalam kitab beliau adh-Dhu’afaa` no. 172 dan Ibnu ‘Adi (1/165). Sebab lemahnya hadits tersebut sebagaimana dikatakan oleh:

– Al-‘Uqaili, “Tidak ada asalnya dari hadits az-Zuhri.”

– Ibnu ‘Adi, “Perawi yang bernama Sallam bin Sulaiman bin Sawwar, dia menurutku haditsnya mungkar, begitu juga perawi yang bernama Maslamah bin ash-Shallat dia tidak dikenal, Abu Hatim berkata tentang dia bahwa ‘Haditsnya ditinggalkan’ (Matrukul Hadiits)” (lihat Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah hadits no. 1569)

Hadits kedua,

Do’a yang tersebar di kalangan kaum muslimin dengan lafadz:

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

            Hadits ini lemah karena ada seorang perawi yang bernama Isma’il bin ‘Amr, sebagaimana telah dikatakan oleh imam adz-Dzhahabi rahimahullah dalam kitab adh-Dhua’afa`, “Dia (Isma’il bin ‘Amr) dilemahkan bukan hanya oleh satu orang.”

Begitu juga gurunya yang bernama Dawud bin az-Zibriqan, penilaian ulama tentang dia lebih jelek dari Isma’il bin ‘Amr. Imam Abu Dawud menyatakan, “Haditsnya ditinggalkan.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Haditsnya ditinggalkan. Dan al-Azdi mendustakannya.”

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button