Raqaiq

WASPADA TERHADAP DOSA

Kehidupan hati merupakan syarat mutlak tumbuh kembangnya keimanan dalam kalbu. Jika hati diibaratkan dengan tanah dan iman dipermisalkan dengan pepohonan, maka hati yang hidup merupakan tanah subur. Pohon iman yang ada di dalamnya akan tumbuh dengan baik. Sebaliknya, hati yang mati bak tanah gersang yang pepohonan sulit tumbuh di dalamnya. Hidup dan matinya hati erat kaitannya dengan ketaatan dan kemaksiatan, amal kebaikan dan kejelekan. Dengan ketaatan dan amal kebaikan, hati akan hidup. Sebaliknya, hati menjadi mati jika penuh dengan kemaksiatan dan dosa.

Pembaca, semoga Allah senantiasa merahmati kita semua. Jangan dibayangkan bahwa matinya hati disebabkan karena dosa-dosa besar saja. Bahkan, dengan sebab dosa-dosa kecil hati juga bisa kehilangan nafas kehidupannya. Oleh karena itu, jangan sampai kita meremehkan dosa kecil.

Pembagian dosa menjadi besar dan kecil kadang menipu sebagian orang sehingga membuat ia cenderung meremehkan dosa kecil. Ah, itu kan dosa kecil, dalam pandangannya. Sehinga, seolah “tidak mengapa” untuk sedikit dikerjakan. Apakah benar demikian?

Macam-macam dosa

Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian dosa. Sebagian ulama memandang bahwa dosa terbagi menjadi besar dan kecil. Pembagian ini tidak berarti bahwa tidak mengapa mengerjakan dosa kecil. Tidak pula bermakna bahwa larangan untuk mengerjakan dosa kecil lebih ringan dibandingkan dosa besar.

Ulama yang lain berpendapat tidak adanya pembagian dosa menjadi besar dan kecil. Besar atau kecil, tetap dianggap dosa, karena sama-sama melanggar larangan Allah. Sehingga, seseorang wajib untuk waspada dari semua jenis dosa.

Pembaca, mari kita ikuti pembahasan berikut, semoga menjadi tambahan ilmu bagi kita semua, kemudian bisa diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kriteria Dosa besar dan Kecil

Ada banyak ragam definisi dan kriteria tentang dosa besar yang dikemukakan oleh para ulama’. Di antaranya, dosa besar adalah segala larangan yang disertai ancaman berupa laknat, murka, marah atau siksaan. Adapun larangan yang tidak disertai dengan ancaman-ancaman tersebut maka disebut dosa kecil.

Pendapat lain bahwa dosa besar adalah dosa yang apabila dikerjakan maka pelakunya berhak mendapatkan hukuman had di dunia dan ancaman di akhirat. Sedangkan dosa yang tidak mendapatkan hukum had di dunia dan tidak mendapatkan ancaman di akhirat adalah dosa kecil.

Ada pula yang menyatakan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang pelakunya dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya.

Besar atau kecil, tetap dosa!

Besar maupun kecil, sebuah pelanggaran itu tetaplah dosa. Ditinjau dari kelancangannya kepada Allah dan penyelisihannya terhadap perintah-Nya, semua dosa adalah besar. Sehingga sisi pandangnya adalah pada Dzat yang dimaksiati perintah-Nya, Yang dilanggar keharaman-Nya.

Dengan demikian semua dosa itu tergolong sebagai dosa besar, karena memiliki dampak kerusakan yang sama.

Kenapa? Karena dosa-dosa itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh dan mudharat kepada Allah. Sehingga semua dosa jika ditinjau dari siapa yang ditentang, maka tidak ada satu dosa yang lebih besar dibandingkan dosa lainnya.

Jadi, semuanya adalah bentuk kemaksiatan dan penentangan terhadap Allah. Tidak ada perbedaan antara satu dosa dengan dosa yang lain.

Segala jenis kemaksiatan juga mengandung bentuk perendahan dan penghinaan terhadap perintah atau larangan dan juga melanggar keharaman Allah. Dari sisi ini tidak ada perbedaan antara satu dosa dengan dosa lainnya.

Sehingga dikatakan, “Janganlah seorang hamba melihat besar atau kecilnya sebuah dosa akan tetapi hendaknya ia melihat pada kedudukan, ketinggian dan keagungan Dzat yang ia maksiati, yaitu Allah.”

Waspada terhadap dosa

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah. Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah hanya kepada-Nya semata (menauhidkan-Nya). Sebagaimana firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah hanya kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Tauhid, itulah puncak tujuan hidup manusia yang digariskan Allah. Sehingga segala sesuatu yang menyelisihi tujuan tersebut adalah dosa. Semakin jauh seseorang dari tujuan penciptaannya (menauhidkan Allah), ia semakin jatuh ke dalam dosa.

Sehingga, kesyirikan (lawan dari tauhid) itu adalah dosa yang amat besar. Sebab, segala sesuatu yang paling bertentangan dan paling menyelisihi tujuan ini adalah dosa besar yang paling besar. Tingkatan dosa tersebut sesuai dengan perbedaan kadar pertentangan dan penyelisihan terhadapnya. Sebaliknya, segala sesuatu yang paling mencocoki tujuan ini maka hal tersebut adalah kewajiban yang paling wajib dan ketaatan yang paling utama.

Dosa kecil bisa menjadi besar

Pembaca, tidak disadari, dosa kecil terkadang bisa menjadi besar. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Di antaranya, bila dosa kecil tersebut dilakukan secara terus-menerus.

Faktor berikutnya, ia meremehkan tabir penutupan dosa dari Allah. Terkadang Allah menutupi maksiat seseorang dari pengetahuan manusia untuk memberi kesempatan kepadanya agar segera bertaubat dan memperbaiki diri. Namun sangat disayangkan, hal ini tidak jarang membuat seorang pendosa tertipu. Sehingga ia kembali mengulangi dosa tersebut. Ia baru akan berhenti setelah manusia mengetahui kebobrokan dirinya.

Nah, seseorang yang meremehkan tabir yang diberikan Allah terhadap dosanya, dan meremehkan penangguhan-Nya terhadapnya akan menjadikan dosa tersebut menjadi semakin besar.

Faktor lainnya adalah bangga dan menceritakan dosa-dosa tersebut kepada orang lain. Nabi bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ الْعَمَلَ بِاللَّيْلِ، ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا؛ وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ اللهُ عَلَيْهِ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

 “Semua umatku dimaafkan kecuali orang-orang yang terang-terangan melakukan maksiat. Termasuk terang-terangan dalam bermaksiat adalah seseorang berbuat maksiat pada malam hari, lalu keesokannya Allah menutupi kesalahan tersebut, tetapi dia mengatakan, ‘Wahai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu.’ Pada malam hari Allah menutupi kesalahannya, tetapi keesokannya dia sendiri yang menyingkap tabir Allah dari dirinya.” (HR. al-Bukhari 6069 dan Muslim 2990 dari shahabat Abu Hurairah)

Faktor lain yang menjadikan sebuah dosa kecil menjadi besar adalah dosa kecil tersebut dilakukan oleh orang alim yang dijadikan teladan.

Kalau diketahui bahwa dosa kecil tersebut dilakukan oleh sang alim, lalu diikuti oleh orang lain maka ketika itu berubahlah dosa tersebut menjadi dosa besar.  Sekalipun dia telah mati, kejelekannya terus menyebar di penjuru dunia.

Dosa para ulama berlipat ganda manakala ditiru orang lain, sebagaimana kebaikan mereka pun berlipat ganda manakala diteladani orang lain.

Hendaknya seorang alim bersikap tengah dalam hal penampilan dan penggunaan harta. Hanya saja, seyogianya dia cenderung sederhana karena manusia senantiasa memerhatikan dirinya.

 

Nilai sebuah dosa lebih besar ketika dilakukan di bula-bulan haram.

Para pembaca rahimakumullah, bulan-bulan haram adalah bulan-bulan yang kehormatannya lebih dibandingkan bulan lainnya. Bulan-bulan haram tersebut ada empat yaitu Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.

Pada bulan-bulan tersebut perbuatan dosa dan kezhaliman lebih besar dosanya dibandingkan dengan bulan-bulan lain. Sebagaimana amal shalih yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut lebih besar pula pahalanya. Allah berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ…….

 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri-diri kalian dalam bulan yang empat itu,…” (at-Taubah: 36)

Al-Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan penggalan ayat

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

beliau menukil ucapan seorang tabiin yang bernama Qatadah, “Sesungguhnya perbuatan zhalim yang dilakukan di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan bulan-bulan selainnya.”

Al-Imam as-Sa’di ketika menafsirkan penggalan ayat

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

beliau berkata, “Yakni seluruh bulan yang dua belas (sepanjang tahun-pen). Kemudian Allah mengkhusus dari 12 bulan tadi yaitu empat bulan dan menjadikannya bulan-bulan haram, serta menjadikan perbuatan maksiat  padanya lebih besar dosanya dan amal shalih lebih besar pahalanya.”

 

Kesimpulan

Walhasil, seseorang dituntut untuk merealisasikan tujuan utama dia diciptakan, yaitu beribadah hanya kepada Allah semata. Ia juga harus menjauhkan diri dari segala dosa. Tidak perlu ia melihat, apakah dosa tersebut besar maupun kecil. Sebab, dosa apapun akan menjauhkan pelakunya dari Allah dan dari beribadah kepada-Nya.

Dengan begitu, hatinya akan semakin hidup. Hidup dengan ilmu, dengan ibadah dan amal shalih. Semoga Allah memberi kita taufik untuk selalu menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat. Amin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button