Fatawa

Masalah Penting di Sekitar Kita

Banyak hukum Islam yang belum kita ketahui. Ternyata sebagiannya sangat penting dan erat kaitannya dengan kelurusan akidah seorang muslim. Ada juga syariat Islam yang diidentikkan dengan kelompok teroris. Melalui lembaran berikut kita akan mendapatkan bimbingan tentang beberapa permasalahan penting yang ada di sekitar kita. Sehingga kita tidak salah persepsi terhadap permasalahan tersebut. Semoga Allah memberi kita taufik untuk mengamalkannya.

Hukum Memelihara Jenggot

Imam an-Nawawi menjelaskan secara panjang lebar hukum memelihara jenggot dan membiarkannya. Ketika menjelaskan hadits tentang sepuluh fitrah yang ada pada manusia, di antaranya membiarkan jenggot, beliau mengatakan, “Telah disebutkan pada hadits sebelumnya, bahwa membiarkan jenggot termasuk bagian dari fitrah.”

An-Nawawi menukil ucapan Imam al-Khaththabi dan selainnya saat menjelaskan makna membiarkan jenggot, “Maksud membiarkan jenggot adalah membiarkan jenggot tumbuh dan tanpa dipotong.” Tidak diperbolehkan bagi kita untuk memotong jenggot seperti perbuatan orang-orang ajam (baca: non muslim). Sebab, di antara ciri khas Kisra (raja Persia) adalah memotong jenggot dan membiarkan kumis.

Setelah menyebutkan sebagian pendapat yang mengatakan bahwa memotong kelebihan jenggot jika telah sepanjang genggaman tangan tidak mengapa, an-Nawawi mengatakan, pendapat yang benar adalah haramnya memotong jenggot secara mutlak. Yang benar adalah membiarkannya panjang begitu saja, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih,

وَاعْفُوا اللِّحَى

 “Biarkanlah jenggot-jenggot!” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sedangkan hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya yang berisi bahwa Nabi mengambil sebagian jenggotnya dari samping maupun dari bawah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad dha’if (lemah) sehingga tidak bisa dijadikan dalil. (Lihat Majmu’ Syarhul Muhadzdzab Lil Imam An-Nawawi 1/290)

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda,

خَالِفُوْا الْمُشْرِكِيْنَ، وَوَفِّرُوْا اللِّحَى، وَأحْفُوْا الشَّوَارِبَ

 “Selisihilah orang-orang musyrik! Perbanyaklah jenggot dan potonglah kumis!” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

جُزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوْا اللِّحَى، خَالِفُوْا الْمَجُوْسَ.

 “Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot! Selisihilah orang-orang Majusi!” (HR. Muslim)

Peringatan

Sebagian orang menilai bahwa jenggot identik dengan kelompok teroris. Padahal tidak demikian, jenggot merupakan bagian dari syariat Islam. Fakta yang ada, ketika kaum teroris melakukan aksi terornya, tidak sedikit dari mereka yang memotong jenggotnya dan berpakaian layaknya preman. Setelah tertangkap petugas keamanan, jenggot baru dipelihara lagi, memakai jubah dan sorban. Sehingga, jenggot atau atribut Islam lainnya tidaklah identik dengan kaum teroris.

Hukum Musik

Dalam Islam, musik merupakan perkara yang dilarang. Hal ini berdasarkan firman Allah (artinya),

“Dan di antara manusia ada yang mempergunakan ‘ucapan yang melalaikan’ untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa ilmu.” (Luqman: 6)

Ketika menafsirkan ayat di atas, Abdullah bin Abbas, ahli tafsir dari kalangan shahabat Nabi, menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan nyanyian dan semisalnya. Sehingga tafsir dari “ucapan yang melalaikan” dalam ayat tersebut adalah nyanyian (musik).  (Lihat al-Adabul Mufrad no. 1265 karya al-Imam al-Bukhari)

Abdullah bin Mas’ud juga menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “ucapan yang melalaikan” pada ayat di atas adalah nyanyian (musik). (HR. Ibnu Jarir).

Penafsiran yang sama juga disampaikan oleh Ikrimah, Mujahid, al-Hasan al-Bashri dan ulama yang lainnya. Rasulullah bersabda,

لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik.” (HR. al-Bukhari no. 5590)

Musik di Mata Salaf

Begitu banyak fatwa para ulama salaf yang mengharamkan musik dan nyanyian. Di antaranya, Ibnu Jauzi menyatakan, “Para tokoh dari murid-murid asy-Syafi’i mengingkari nyanyian (musik). Tidak diketahui adanya perselisihan di antara para ulama terdahulu dalam masalah ini.” (Talbis Iblis, 283)

Imam Ibnu Abdil Bar juga menyatakan, “Termasuk penghasilan yang disepakati keharamannya adalah riba, upah pelacur, suap, upah meratapi mayit, nyanyian, perdukunan, mengaku mengetahui ilmu ghaib, hasil seruling dan permainan batil.” (al-Kafi fi furu’ al-Malikiyyah, 191).

Imam ath-Thabari berkata, ”Para ulama di berbagai negeri telah sepakat tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian (musik).” (Tafsir al-Qurthubi 14/56)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menegaskan, “Mazhab empat Imam (Malik, Syafi’i, Ahmad dan Abu Hanifah, -pen) menyatakan bahwa semua alat musik adalah haram.” (Majmu’ Fatawa 11/576)

Perdukunan

Ada banyak istilah tentang perdukunan dan pelakunya. Di antaranya adalah tukang ramal, ahli nujum, orang pintar, paranormal dan lain-lain. Ciri-cirinya, orang tersebut mengaku mengetahui suatu perkara melalui cara atau ritual tertentu. Dengan cara itu ia mengaku mengetahui tempat barang hilang, barang yang dicuri dan sebagainya.

Mendatangi dukun, walaupun sekedar bertanya tanpa membenarkannya, hukumnya haram. Nabi bersabda,

«مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لم تقبل صَلَاة أَرْبَعِينَ لَيْلَة»

“Barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari.” (HR. Muslim no. 2230)

Adanya ancaman bagi orang yang bertanya kepada dukun dan sejenisnya menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Apalagi, jika orang tersebut membenarkan ucapan si dukun. Tentu hal ini lebih-lebih lagi larangannya. Rasulullah bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

 “Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun, kemudian ia membenarkan ucapannya, maka ia telah kufur dan ingkar terhadap syariat yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dll)

Membaca ramalan bintang atau zodiak yang ada pada majalah dan koran atau media lainnya dikhawatirkan masuk ke dalam larangan tersebut. Sehingga, kita harus berhati-hati dari perbuatan tersebut.

Sihir

Menurut Ibnu Qudamah, sihir adalah jimat, jampi, atau lafazh yang diucapkan atau ditulis, atau suatu perbuatan yang berpengaruh pada fisik, hati, atau akal orang yang jadi sasarannya tanpa kontak langsung. Sihir itu bisa membunuh, membuat sakit, mencegah seorang suami dari menggauli istrinya hingga menceraikannya, mempengaruhi cinta mereka atau membuatnya saling benci. (Al-Mughni, 10/104)

Sihir merupakan perbuatan haram. Rasulullah memasukkan sihir ke dalam tujuh perkara yang bisa membinasakan pelakunya setelah kesyirikan. Beliau bersabda,

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ

“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Apa saja tujuh perkara tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, dan sihir… ”  (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Perilaku sihir menyeret pelakunya untuk berbuat kemungkaran bahkan kekafiran. Perbuatan tersebut dipersyaratkan agar ilmu sihirnya bisa “bekerja”. Di antara tukang sihir itu ada yang harus menginjak kitab suci al-Qur’an. Ada juga yang menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan kotoran atau darah haidh, dan berbagai perbuatan mungkar lainnya.

Dengan ritual tersebut, pelaku sihir memiliki kekuatan supranatural, seperti terbang, berjalan di atas air, dan lain-lain. Sebagian pihak menipu kaum muslimin dengan menamakan kekuatan tersebut sebagai karomah. Padahal, sejatinya hal tersebut bukan karomah.

Untuk membedakan apakah sebuah kekuatan itu karomah atau tipu daya setan dengan cara melihat sejauh mana keimanan dan ketakwaan pemiliknya.

Imam Syafi’i berkata, “Apabila kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui keseriusannya dalam mengikuti ajaran Rasulullah.” (A’lamus Sunnah al-Manshurah)

Penutup

Melalui buletin ini, kami mengajak pembaca untuk selalu memperbanyak ilmu dengan banyak belajar. Belajar ilmu agama bisa dilakukan dengan cara menghadiri majelis taklim, membaca buku, mendengar ceramah dan pengajian.

Dengan belajar, syariat Islam tidak lagi asing di telinga kita. Semoga Allah membimbing kita untuk senang terhadap ilmu agama.

Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button