Mengapa Terjadi Bencana?
Edisi: 09 || 1440H
Tema: Akidah
Allah ta’ala adalah pencipta langit dan bumi beserta segala isinya. Jagat raya ini benar-benar di bawah kekuasaan dan pengaturan-Nya.
Bencana Terjadi dengan Kehendak Allah dan Hikmah-Nya
Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Allah juga Maha Kuasa atas segala sesuatu. Gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan sebagainya tidaklah terjadi melainkan dengan kehendak-Nya dan hikmah-Nya.
Gempa Bumi Menimpa Kaum yang Menentang Allah dan Rasul-Nya
Perhatikanlah, bagaimana Allah menimpakan kepada suatu kaum gempa bumi ketika mereka menentang rasul yang Allah utus kepada mereka, yang berarti mereka telah menentang Allah dan menantang murka-Nya.
Allah ta’ala berfirman (artinya),
“Pemuka-pemuka kaum Syu’aib yang kafir berkata (kepada sesamanya), ‘Sesungguhnya jika kalian mengikuti Syu’aib, tentu kalian jika berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang merugi!’ Kemudian mereka pun ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, (yaitu) orang-orang yang mendustakan Syu’aib seolah-olah mereka belum pernah berdiam (tinggal) di kota itu; orang-orang yang mendustakan Syu’aib mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 90-92)
Bencana Bukan Semata-mata Fenomena Alam
Bencana dalam bentuk gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir bandang, tanah longsor, dan sebagainya, bukan semata-mata fenomena alam. Memang benar, Allah ta’ala menjadikan berbagai peristiwa tersebut dengan adanya sebab dan akibat di alam yang bisa dipelajari oleh sains/ilmu pengetahuan. Namun, ketahuilah bahwa bencana tersebut tidaklah terjadi melainkan dengan kehendak dan hikmah Allah ta’ala.
Ketika Dia murka dan berkehendak untuk menghukum manusia, maka Dia Maha Mampu untuk memerintahkan bumi untuk berguncang, air laut bergerak cepat, dan seterusnya. Karena semuanya adalah makhluk-makhluk Allah yang berada dalam kekuasaan-Nya. Allah Maha Kuasa untuk memerintahkan sekehendak-Nya.
Maka apabila sebuah bangsa terus menerus berbuat maksiat dan kemungkaran, bahkan melakukan dosa besar yang paling besar yaitu praktek kesyirikan: seperti berdo’a kepada selain Allah, berharap dan meminta keselamatan kepada selain-Nya atau merasa rizki dijamin oleh selain-Nya, maka perbuatan itu semua akan mendatangkan murka dan adzab Allah ta’ala.
Penjelasan Al-Qur’an bahwa Musibah dan Bencana Disebabkan Dosa Manusia
Setelah menyebutkan umat-umat terdahulu yang telah melanggar dan menentang para rasul-Nya, Allah ta’ala berfirman (artinya),
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya diri mereka sendiri.” (al-Ankabut: 40)
Perhatikanlah, pada ayat tersebut dengan tegas Allah ta’ala memberitakan bahwa Dia membinasakan masing-masing kaum tersebut dalam bentuk musibah dan bencana, disebabkan oleh dosa-dosa mereka.
Ulama besar pakar tafsir al-Qur’an dari kalangan madzab Syafi’i yang hidup pada 224-310H, al-Imam Muhammad bin Jarir rahimahullah, menjelaskan ayat di atas,” … Allah membinasakan mereka tidak lain disebabkan dosa-dosa mereka sendiri, kekufuran, dan pengingkaran mereka terhadap nikmat-nikmat Allah senantiasa berdatangan kepada mereka. Demikian pula nikmat Allah sangat banyak di sisi mereka. “… akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.’ Yaitu karena sikap buruk mereka terhadap nikmat-nikmat Allah, membolak-balikkan nikmat-nikmat-Nya, beribadah kepada selain Allah dan mereka bermaksiat kepada Allah yang telah memberikan nikmat kepada mereka.” (lihat Tafsir ath-Thabari, [20/38])
Kenapa Berharap Rizki dan Keselamatan Kepada Selain Allah?
Di antara akidah Islam yang harus diyakini oleh setiap muslim, bahwa berdo’a, memohon berkah, memohon keselamatan itu harus kepada Allah ta’ala semata, tidak boleh kepada selain-Nya. Ini sebagai konsekuensi kalimat Tauhid la ilaaha illallah (tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah).
Islam juga menegaskan, bahwa praktek keagamaan bangsa Arab Quraisy pada waktu itu adalah praktek kesyirikan yang bertentangan dengan ajaran Tauhid yang dibawa oleh Islam. Ketika melakukan penyembahan kepada selain Allah, kaum Quraisy itu meyakini bahwa perbuatan itu secara vertikal demi mendekatkan diri kepada Allah semata.
Allah ta’ala berfirman dalam mencela kaum musyikin tersebut,
اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ ۗوَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (az-Zumar: 3)
Seorang pakar tafsir al-Qur’an terkemuka yang juga dari madzhab Syafi’i, al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat tahun 774H) menjelaskan: Yakni yang mendorong mereka melakukan peribadatan kepada berhala-berhala tersebut adalah karena mereka memohon kepada berhala-berhala tersebut. Berhala-berhala itu mereka buat dalam bentuk patung yang menurut keyakinan mereka patung-patung itu sebagai perwujudan malaikat yang dekat kepada Allah ta’ala. Mereka pun menyembah patung-patung itu sebagai simbol penyembahan kepada para malaikat. Tujuannya agar malaikat itu bisa memberi syafa’at (mengantarkan/mendekatkan) mereka kepada Allah ta’ala, agar Allah menolong mereka, memberi rizki mereka, serta memenuhi segala kebutuhan urusan dunia.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, [7/84-85])
Meskipun tujuan akhirnya adalah Allah ta’ala, dan meyakini bahwa Allah-lah yang memberi rizki, namun karena di situ ada penyembahan kepada selain Allah yang dianggap sebagai simbol, maka dalam Islam perbuatan seperti ini dinyatakan sebagai kesyirikan. Islam datang untuk memberantasnya. Perbuatan itu jelas merusak sendi tauhid dan mengubah akidah sebagai seorang muslim.
Sangat disayangkan, ketua panitia sebuah acara labuhan mengatakan,
“Labuhan ini persembahan untuk penguasa laut selatan, tapi kita secara vertikal tetap menyembah kepada Allah SWT.”
Acara semacam itu ternyata sangat berbahaya dan mengancam langsung sendi-sendi tauhid. Karena telah memberikan persembahan kepada kepada “penguasa laut selatan”. Hendaknya kaum muslimin segera sadar jangan sampai terjatuh lagi dalam perbuatan-perbuatan yang mengikis habis akidah Islamiyyah.
Karena ada manusia yang meminta dan berharap rizki kepada sesama makhluk, baik yang disebut sebagai “ratu penguasa laut”, “ratu penguasa padi”, ataupun yang lainnya?! Padahal makhluk itu lemah dan tak memiliki apa-apa. Allah ta’ala berfirman (artinya),
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembah (beribadah)lah kepada-Nya dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikekbalikan.” (al-Ankabut: 17)
Dalam ayat tersebut, Allah ta’ala memberitakan kepada kita bahwa segala sesuatu selain Allah tidak mampu memberikan rizki. Sekaligus Allah perintahkan agar kita meminta rizki hanya kepada Allah ta’ala. Juga Allah perintahkan agar kita beribadah hanya kepada-Nya, sebagai bentuk syukur atas berbagai nikmat dan rizki-Nya.
Apakah pantas seorang hamba – baik dia seorang nelayan, petani, pegawai, dll -yang terus menerus mendapatkan rizki dari Allah ta’ala justru dia bersyukur dan memberikan persembahan kepada selain Allah?!
Ambilah Pelajaran Wahai Bangsaku
Dalam beberapa waktu terakhir ini, negeri kita telah dirundung bencana dan musibah besar. Wahai bangsa Indonesia, handaknya kita menginstropeksi diri. Bisa jadi berbagai musibah dan bencana itu merupakan peringatan dari Allah ta’ala kepada bangsa ini.
Maka -wahai saudaraku- hentikanlah berbagai dosa dan kemungkaran, mari kita segera kembali dan bertaubat kepada Allah. Hentikan korupsi, mengumbar aurat. Hentikan perzinahan dan LGBT. Hentikanlah berbagai kegiatan yang dianggap tradisi namun ternyata mengandung banyak kemungkaran besar.
Hentikan pula ucapan-ucapan yang menistakan agama dan menantang murka Allah ta’ala. Terutama kaum Islam liberal yang sering menista agama, menista Al-Qur’an, menista Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, bahkan menista Allah ta’ala. Termasuk ucapan mereka bahwa bencana alam hanya semata-mata fenomena alam, tidak ada kaitannya dengan dosa manusia.
Bencana terjadi bukan karena kemarahan “penunggu gunung”, atau kemarahan “ratu penguasa lautan”, atau “ratu penguasa padi”, dan semisalnya. Bencana bukan pula semata-mata fenomena alam atau terjadi karena pergerakan alam semata. Namun bencana terjadi dengan kehendak Allah ta’ala, yang ditimpakan oleh Allah kerena adanya sebab-sebab, di antaranya sebab perbuatan dan dosa-dosa manusia. Allah ta’ala berfirman (artinya),
“Musibah apa pun yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat di atas, bahwa segala musibah yang menimpa umat manusia tidak lain disebabkan dosa-dosa yang mereka perbuat sebelumnya. Itu pun Allah ta’ala telah memaafkan sebagian besar dosa-dosa manusia tersebut. Yakni banyak dosa-dosa manusia yang tidak Allah berikan hukuman, namun Allah ta’ala maafkan. Allah ta’ala berfirman (artinya),
“Kalau seandainya Allah selalu menghukum manusia karena perbuatan-perbuatan dosa mereka, niscaya tidak akan tertinggal di atas bumi satu hewan pun.” (Fathir: 45)
Wallahu a’lam bishshawwab
Penulis: Ustadz Abu Amr Alfian hafizhahullah