Rukun Islam

HAJI KE BAITULLAH

Nilai pengagungan sebuah ibadah di mata seorang muslim sangatlah dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dirinya terhadap keutamaan, kedudukan, dan kandungan ibadah tersebut. Semakin dia memahaminya, maka semakin tinggi dia menghargai dan meng-agungkan ibadah itu, demikian pula sebaliknya.
Tak terkecuali ibadah haji yang semestinya wajib bagi setiap muslim untuk mempelajarinya. Janganlah seorang muslim memandang bahwa ilmu tentang haji hanya diwajibkan ketika ia akan menunaikannya, padahal dia diberi kesempatan oleh Allah untuk mempelajarinya.

PENGERTIAN HAJI
Beberapa ulama kita didalam karya-karya mereka menerangkan bahwa pengertian haji menurut etimologi adalah Al Qashdu (maksud atau tujuan). Adapun ditinjau dari terminologi syari’at adalah menunaikan perjalanan ke Baitul Haram dalam rangka ibadah dengan mengerjakan amalan-amalan tertentu pada waktu tertentu pula.
Sedangkan umrah memiliki perbedaan dengan haji, misalnya tidak dibatasi pada waktu tertentu, tidak ada wukuf di Arafah, melempar jumrah, khutbah Arafah dan lain-lain. Oleh karena itulah, ibadah haji lebih utama daripada umrah disamping perkara lain yang membedakan antara keduanya. Wallahu a’lam. (Lihat Taudhihul Ahkam 4/3,5,6 dan 11 oleh Asy Syaikh Al Bassam)

KAPAN DISYARI’ATKAN IBADAH HAJI?
Syariat haji secara umum sebenarnya telah diterapkan Nabi Ibrahim ? setelah Allah ? berfirman:
وَ أَذِّنْ لِلنَّاسِ بِالحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالاً وَ عَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Dan umumkanlah kepada manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan mendatangimu dengan berjalan kaki atau mengendarai unta kurus dari segala penjuru yang jauh untuk menyaksikan segala yang bermanfaat bagi mereka.” (Al Hajj: 27-28)
Hanya saja penerapan ibadah haji dengan tata cara yang diajarkan Nabi Muhammad ? secara terperinci, dimulai pada tahun ke-9 Hijriah menurut pendapat yang paling benar. Wallahu a’lam.

HUKUM HAJI DAN KEUTAMAAN-NYA
Telah diketahui oleh setiap muslim bahwa ibadah ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk me-nunaikannya. Bahkan, merupakan salah satu rukun terpenting dalam Islam. Allah ? berfirman:
وَ لِلَّه عَلَى النَّاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ
“Dan karena Allah saja haji ke Baitullah bagi manusia yang mampu mengadakan perjalanan kesana. Barangsiapa yang kafir maka sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap alam semesta.” (Ali Imran: 97)
Rasulullah ? bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَ إِقَامِ الصَّلاَةِ, وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ , وَحَجِّ الْبَيْتِ , وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
“Islam dibangun diatas lima perkara: Syahadat Laa Ilaaha Illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, menegak-kan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Di banyak hadits Rasulullah ? teriwayatkan keutamaan bagi pelaku ibadah agung ini, diantaranya sabda beliau ? didalam Shahih Bukhari:
مَنْ حَجَّ لِلَّه فَلَمْ يَرْفُثْ وَ لَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berbuat keji dan kefasikan, maka dia pulang sebagaimana keadaan dia di hari sang ibu melahirkannya (yaitu tanpa dosa).”
Keutamaan duniawi pun dapat teraih di dalam ibadah ini tatkala Allah ? berfirman:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلاً مَنْ رَبِّكُمْ
“Tidaklah berdosa bagi kalian untuk mencari keutamaan dari Rabb kalian.” (Al Baqarah: 198)
Asy Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syanqithi rahimahullah menjelaskan bahwa para ulama tafsir telah bersepakat bahwa makna ayat tersebut adalah tidak ada dosa bagi seorang yang berhaji untuk mencari keuntungan perdagangan pada hari-hari haji dengan syarat tidak sedikitpun menyibukkan dari manasik hajinya. (Lihat Durus ‘Aqdiyyah hal. 17 oleh Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad)

KEPADA SIAPA HAJI DIWAJB-KAN ?
Ibadah yang agung ini diwajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki maupun wanita, merdeka, baligh dan berakal sehat yang telah memiliki kemampuan secara syar’i bardasarkan keumuman dalil-dalil yang ada baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah.

PENGERTIAN “MAMPU” UNTUK BERHAJI
Para ulama telah memberikan batasan-batasan yang seorang muslim dikatakan mampu untuk berhaji dengan beberapa point berikut ini:
Mendapatkan perbekalan dan kendaraan yang memadai dari berangkat sampai pulangnya dari tanah suci.
Terpenuhinya jaminan keamanan diri dan hartanya selama meng-adakan perjalanan haji.
Tertunaikannya tanggungan yang dia miliki sebelum berangkat seperti hutang, zakat, kaffarah, dan nafkah yang syar’i bagi keluarga yang dia tinggalkan tanpa rasa khawatir.
Terpenuhinya jaminan kesehatan dia.
Adanya mahram bagi calon jama’ah haji wanita. (Lihat Thoriqul Wushul hal. 154 dan 167 oleh Asy Syaikh Zaid Al Madkhali, Taudhihul Ahkam 4/18 oleh Asy Syaikh Al Bassam dan Ijabatus Sail hal. 127 oleh Asy Syaikh Muqbil)

BERSEGERA UNTUK BERHAJI BILA TELAH MEMILIKI KE-MAMPUAN
Seharusnya bagi seorang muslim yang telah diberi kemampuan oleh Allah untuk bersegera menunaikan ibadah mulia ini. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ? yang diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan:
تَعَجَّلُوا إِلى الحَجِّ – يَعْنِي الفَرِيْضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدَرِي ما يَعْرِضُ لَهُ
“Bersegeralah kalian untuk berhaji – yakni haji yang wajib – karena sesungguhnya diantara kalian tidak tahu apa yang akan menghalanginya.”

BERAPA KALI DIWAJIBKAN BERHAJI ?
Telah diterangkan Nabi ? sendiri bahwa haji diwajibkan bagi setiap muslim yang memiliki ke-mampuan sebanyak sekali dalam hidupnya. Namun, disunnahkan untuk menunaikannya lebih daripada itu. Beliau ? pernah ditanya oleh Al Aqra’ bin Habis, apakah haji itu ditunaikan setiap tahun atau sekali saja? Maka beliau pun menjawab: “Bahkan sekali saja. Barangsiapa menambahinya maka itu adalah tathawwu’ (sunnah).” (HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih)

MACAM-MACAM HAJI
Dari beberapa riwayat yang sah dari Nabi ?, para ulama membagi macam haji dengan menyebutkan nama-namanya sesuai dengan sifat yang dikandungnya. Macam-macam tersebut adalah:
Tamattu’ yaitu para jama’ah haji berihram untuk melakukan umrah pada bulan-bulan haji (Syawal, Dzul Qa’dah dan 10 hari awal Dzul Hijjah). Setelah menyelesaikan umrahnya mereka diperbolehkan mengerjakan perkara-perkara yang dilarang ketika berihram. Kemudian berihram kembali untuk menunaikan haji pada hari Tarwiyyah (tanggal 8 Dzul Hijjah) hingga sempurna.
Qiraan yakni berihram untuk menunaikan umrah dan haji sekaligus sampai sempurnanya manasik haji atau berihram untuk umrah kemudian menggabungkan-nya dengan haji sebelum memulai thawaf sampai sempurna.
Ifraad adalah berihram untuk berhaji saja di bulan-bulan haji sampai tanggal 10 Dzul Hijjah.

MIQAT HAJI Miqat di dalam haji dibagi menjadi dua jenis yaitu:
Miqat zamani maknanya miqat yang ditinjau dari waktu ditunaikannya haji atau umrah. Waktu tersebut adalah bulan Syawal, Dzul Qa’dah dan 10 hari pertama Dzul Hjjah.
Miqat makani yakni tempat-tempat yang telah ditentukan syariat agar jama’ah haji memulai niat ihramnya padanya. Tempat-tempat tersebut adalah:
Dzul Hulaifah, sekarang dinamakan Abyar ‘Ali yang berjarak kurang lebih 420 km dari kota Makkah. Inilah miqat penduduk kota Madinah dan penduduk yang datang dari jalan mereka.
Al Juhfah atau Raabigh yang berjarak kurang lebih 208 km dari kota Makkah. Ini adalah miqat penduduk negeri Syam (sekarang terbagi menjadi Yordania, Suriah, Libanon dan Palestina), Mesir, Sudan, negeri-negeri Afrika dan yang datang dari arah utara Arab Saudi.
Qarnul Manaazil atau Wadi Muhrim yang berjarak kurang lebih 78 km dari kota Makkah. Ini adalah miqat penduduk negeri Najd dan penduduk yang ada di pegunungan Sarat di sebelah selatan negeri Arab Saudi.
Yalamlam, yang berjarak kurang lebih 54 km dari kota Makkah. Ini adalah miqat penduduk negeri Yaman, Indonesia, Malaysia, Cina, India, negeri-negeri Asia selatan dan jama’ah haji yang datang dari arah negeri-negeri tersebut. Dzatu ‘Irq yang berjarak kurang lebih 100 km dari kota Makkah, ini adalah miqat penduduk negeri Irak.

KANDUNGAN IBADAH HAJI
Bagi seseorang yang menghayati dan merenungi kandungan yang terdapat pada ibadah haji maka ia akan memperoleh banyak pelajaran penting, baik yang berkaitan dengan keimanan, ibadah, mu’amalah dan akhlak yang mulia. Diantara pelajaran tersebut adalah:
Perwujudan Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ wa Sifat Allah yang murni dari noda-noda kesyirikan ketika para jama’ah haji bertalbiyah.
Pendidikan hati yang khusyu’, tawadlu’ dan penghambaan diri pada Rabbul ‘Alamin ketika berthawaf, wukuf dan amalan haji yang lainnya.
Pembersihan hati dengan keikhlasan dan rasa syukur ketika menyembelih binatang kurban pada hari ke 10 dari bulan Dzul Hijjah.
Penerimaan hati terhadap bimbingan Rasulullah ? tanpa diiringi rasa berat hati ketika mencium Hajar Aswad dan mengusap Rukun Yamani.
Tumbuhnya kebersamaan hati dan jiwa ketika berada diantara saudara-saudara seiman dari seluruh penjuru dunia ketika berpakain sama, berada di tempat yang sama dan berbuat amalan yang sama pula (haji).

HUKUM MENINGGALKAN HAJI
Seorang muslim yang meninggalkan haji dengan mengingkari kewajiban haji tersebut, maka dia telah murtad dan kafir. Akan tetapi, bila dia meninggalkannya karena malas dan meremehkan kewajiban tersebut dengan tetap meyakini tentang wajibnya. Maka dia tidak dikafirkan. Walaupun demikian dia telah terjerumus kedalam dosa besar.
Dengan demikian sudah sepatutnya bagi steiap muslim yang mengharap ridho Allah, untuk menerima syariat haji ini dengan ikhlas dan lapang dada dengan senatiasa berupaya menunuaikannya sesuia dengan ketentuan Rasululllah ? serta menjauhkan dari berbagai macam perbuatan yang yang dapat merusak haji, hingga banar-banar teraih suatu harapan “mendapat haji mabrur” yang tiada balasan baginya kecuali jannah.
Wallahu A’lam Bish Shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button