Fiqih

KAJIAN SEPUTAR RAMADHAN ( 3 )

Zakat Fitrah
Istilah ”zakat fitrah“ tidak asing lagi bagi telinga kita, karena pada setiap tahunnya kita tak pernah absen untuk menunaikannya.
Apa Hukumnya dan Kepada Siapa Diwajibkan ?
Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin. Shahabat Abdullah bin Umar berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّه ? زَكاةَ الفِطْرِِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَو صَاعًا من شَعيرٍ على العَبْدِ و الحُرِّ والذّكَرِ والأُنْثَى والصَّغيرِ والكَبيرِ من المُسْلِمين
Artinya: ”Rasulullah ? telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu shaa’ kurma atau gandum bagi budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin. (H.R. Al Bukhori no. 1503)
Dengan Apa Seseorang Berzakat dan Berapa Ukurannya ?
Yang dikeluarkan sebagai zakat fitrah adalah bahan makanan pokok suatu daerah. Ukurannya satu shaa’ yang kurang lebih = 2 kilo, 40 gram (2,04 kg), sebagaimana yang difatwakan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin (Asy Syarhul Mumti’ juz 6 hal. 176). Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: “Kami di jaman Nabi ? biasa mengeluarkan zakat fitrah berupa 1 shaa’ kurma, 1 shaa’ gandum, 1 shaa’ kismis“ (Muttafaqun ‘Alaihi), dalam riwayat yang lain: “atau 1 shaa’ keju”.
Al Imam Ibnul Qoyyim ketika menyebutkan lima jenis bahan makanan di atas berkata: ”Ini semua merupakan mayoritas makanan pokok penduduk Madinah, adapun jika penduduk suatu negeri atau tempat makanan pokoknya selain itu (yang telah disebutkan) maka yang dikeluarkan adalah 1 shaa’ dari makanan pokok mereka itu.
(Taudhihul Ahkam juz 3, hal. 78)

Bolehkah Dengan Uang ?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata: “Membayar zakat fitrah dengan uang tidak diperbolehkan menurut jumhur ulama’, dan wajib ditunaikan dengan makanan pokok sebagaimana yang telah ditunaikan oleh Nabi ? dan para shahabatnya”. (Fataawa Ramadhan, hal. 924). Demikian pula yang difatwakan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dan Asy Syaikh Sholih Al Fauzan. (Fataawa Ramadhan, hal. 918, 920).
Kepada Siapa Disalurkan ?
Zakat fitrah ini disalurkan secara khusus untuk orang-orang fakir miskin. Asy Syaikh Al Albani berkata: ”Belum ada dalam sunnah ‘amaliyyah (amalan nabi) yang menunjukkan tentang pembagian zakat fitrah seperti ini (untuk delapan golangan –red) bahkan sabda beliau ? dalam hadits Ibnu Abbas:

“ … وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكين “
Artinya: ”…dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin“.
menunjukkan pengkhususannya untuk orang-orang miskin. Adapun ayat (At Taubah: 60) berlaku untuk zakat maal (harta) bukan zakat fitrah dengan dasar apa yang terdapat dalam ayat sebelumnya …, pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan beliau mempunyai fatwa yang sangat bermanfaat dalam hal ini, sebagaimana yang terdapat dalam Majmu’ Fataawa (juz 25, hal. 71-78, red). Pendapat ini pula yang dipegang oleh Asy Syaukani dalam As Sailul Jarror (juz 2, hal. 86-87). Oleh karena itu Ibnul Qoyyim berkata dalam Zaadul Ma’ad (juz 2 hal. 21): ”Merupakan tuntunannya ?, pengkhususan zakat fitrah untuk orang-orang miskin …“. (Tamamul Minnah hal. 387-388). Demikian pula yang difatwakan oleh Asy Syaikh Sholih Al Fauzan, Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, dan Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (Fataawa Ramadhan hal. 920 , 924 ,936).

Kapan Waktu Penunaiannya ?
Waktu penunaiannya adalah sebelum sholat Iedul Fitri, yaitu: sebelum orang-orang berangkat menuju sholat atau sehari dua hari sebelumnya. Dan tidak boleh ditunaikan sesudah sholat Ied. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat:
1. Dari Shahabat Abdullah bin Umar Ia berkata:
… وَ أَمَرَ بها أن تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ ِ إِلى الصَّلاَةِ .
Artinya: ”… Dan beliau ? memerintahkan agar zakat fitrah itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju sholat Ied. (H.R. Al Bukhori no. 1503)
2. Dari Naafi’ Ia berkata: ”…Dahulu para shahabat Rasulullah ? menunaikannya sehari atau dua hari sebelum Iedul Fitri“. (H.R. Al Bukhori no. 1511).
3. Dari shahabat Abdullah bin Abbas (secara marfu’) berkata:
… وَ من أَدَّاها بعد الصَّلاةِ فَهِي صَدَقَةٌ مِن الصَّدَقَاتِ
Artinya: ”… Barangsiapa menunaikannya sesudah sholat Ied, maka ia sebagai shadaqoh dari shadaqoh-shadaqoh yang ada (tidak terhitung sebagai zakat fitrah -red). (H.R. Abu Dawud).
Adapun bacaan khusus ketika menunaikannya, maka belum pernah diajarkan oleh Nabi ?, baik untuk pemberi ataupun penerima. Namun dianjurkan bagi si penerima untuk mendoakan kebaikan bagi si pemberi, berdasarkan QS At Taubah: 103.

Bagaimana Bila Ditunaikan Di Awal Ramadhan ?
Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata: ”Ulama’ berbeda pandapat tentang zakat fitrah yang ditunaikan di awal Ramadhan. Dan pendapat yang rojih (kuat) adalah tidak boleh, karena ia diberi nama dengan zakat fithr, sedangkan fithr tidaklah terjadi kecuali di akhir bulan. Rasulullah memerintahkan agar ia ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju sholat Ied dan para shahabat pun menunaikannya sehari atau dua hari sebelum Ied.” (Fataawa Ramadhan, hal.935)

. ? ? ? ? Refleksi Terhadap Iedul Fitri Kita
Iedul Fitri merupakan salah satu hari raya yang Allah anugerahkan kepada kaum muslimin. Dinamakan Iedul Fitri karena ia selalu berulang setiap tahun dengan penuh kegembiraan, dan di antara bentuk kegembiraan itu adalah makan, minum, menggauli istri dan lain sebagainya dari hal-hal mubah yang sebelumnya tidak boleh dilakukan di siang hari Ramadhan.

Kapan Kita Berhari Raya ?
Hari raya Iedul Fitri terjadi pada tanggal 1 Syawwal yang dihasilkan dengan ru’yatul hilal bukan dengan ilmu hisab. Rasulullah ? bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ .
Artinya: “Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berhari rayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkan bilangannya menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari).
Iedul Fitri dan juga shaum Ramadhan merupakan syiar keutuhan dan kebersamaan. Oleh karena itu Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata: “Setiap warga negara hendaknya mengikuti pemerintahnya, jika pemerintah menjalankan shaum hendaknya mereka bershaum, dan jika berhari raya hendaknya berhari raya pula bersamanya …. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang kuat bila ditinjau dari sisi keutuhan masyarakat.” (Asy Syarhul Mumti’ juz 6, hal. 322). Demikian pula yang dinasehatkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 398.
Untuk itu kami wasiatkan kepada Pemerintah semoga Allah merahmati mereka agar melandaskan keputusan masuk dan keluarnya Ramadhan dengan ru’yatul hilal dan tidak dengan ilmu hisab.

Dimana Kita Sholat Ied, dan Bagaimana Cara Menuju Tempat Tersebut ?
Rasulullah menuntunkan agar sholat Ied dilaksanakan di musholla ied (tanah lapang), dan inilah yang dilakukan oleh beliau ? dan para shahabatnya. Abu Sa’id Al Khudri berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ? يخْرُجُ يومَ الفِطْرِ و الأَضْحَى إلى المُصَلَّى … .
Artinya: “Dahulu Rasulullah ? selalu keluar menuju musholla (tanah lapang) untuk melaksanakan sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha…. (H.R. Al Bukhori no. 956)
Namun bila ada udzur yang darurat seperti hujan dan yang sejenisnya, maka boleh dilakukan di masjid. Asy Syaikh Al Albani berkata: “Sunnah nabi sesuai dengan hadits-hadits yang shohih menunjukkan bahwa beliau selalu mengerjakan dua sholat ied di tanah lapang pinggiran kampung, dan ini terus berkelanjutan di masa generasi pertama (ummat ini), mereka tidak melaksanakan di masjid-masjid kecuali bila ada udzur yang darurat seperti hujan dan sejenisnya. Inilah madzhab Imam yang empat dan selain mereka dari para Imam“. (Sholatul ‘Iedaini fil Musholla Hiyas Sunnah, hal. 35).
Sehingga sangat berlebihan orang yang mengatakan bahwa sholat Ied tidak boleh dilaksanakan di masjid walaupun ada udzur yang darurat, demikian pula orang yang mengatakan bahwa tidak ada sholat kalau tidak di tanah lapang.
Adapun cara menuju musholla Ied (tanah lapang) adalah; Pertama: Berhias dengan pakaian yang terbaik, sebagaimana hadits Ibnu Umar dalam Shohih Al Bukhori no. 948. Kedua: Makan beberapa butir kurma (sebelum berangkat), sebagaimana hadits Anas ia berkata:
كان رسول الله ? لاَ يَغدُو يومَ الفِطْرِ حتى يَأْكُلَ التَّمَرَاتِ .
Artinya: ”Rasulullah tidaklah berangkat untuk sholat Iedul Fitri kecuali memakan beberapa butir kurma terlebih dahulu“. (H.R. Al Bukhori no. 953). Ketiga: Berangkat dan pulang melewati jalan yang berbeda, sebagaimana hadits Jabir ia berkata:
كان النَّبيُ ? إذَا كَانَ يومَ عيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Artinya: ”Nabi ? ketika hari Ied melewati jalan yang berbeda (antara berangkat dan pulang –red).” (H.R. Al Bukhori no. 986).
Dan boleh dengan berjalan atau berkendaraan. Al Imam Al Bukhori berkata: ”Bab Berjalan dan Berkendaraan Menuju Sholat Ied …”.
Keempat: Melantunkan takbir, sebagaimana riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnaf dan disebutkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Silsilah Shohihah no. 170.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: ”Dan disyariatkan bagi siapa saja untuk melantunkan takbir ketika keluar menuju sholat Ied, dan ini kesepakatan Imam yang empat. Apa yang dilakukan Setiba di tempat Sholat ?
Ketika tiba di tempat sholat, hendaknya terus bertakbir hingga imam memulai sholat. Adapun sholat sunnah qobliyyah dan ba’diyyah Ied, maka tidak ada tuntunannya, sebagaimana hadits Ibnu Abbas:
… لم يُصَلِّ قبلها ولابعدها … Artinya: “… (Nabi ?) belum pernah sholat (sunnah) sebelum sholat Ied atau pun sesudahnya…”. (H.R. Al Bukhori no. 989).

Tidak Ada Adzan dan Iqomah
Shahabat Jabir berkata:
صَلَّيتُ مع رَسُولِ اللهِ ? العِيدَيْن غَيرَ مرَّةٍ وَ لا مرَّتَيْن بِغَيرِ أذانٍ ولا إِقَامَةٍ .
Artinya: ”Aku telah sholat dua Ied bersama Rasulullah tidak hanya sekali atau dua kali (semuanya -red) tanpa adzan dan iqomah”. (H.R. Muslim no. 887)
Adapun ucapan: “Ashalaatu Jaami’ah“, maka Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: ”Yang sunnah adalah tidak mengucapkan itu semua.“ (Zaadul Ma’ad juz 1, hal. 427).

Sholat Dulu, Kemudian Khutbah
Shahabat Abdullah bin Abbas berkata: ”Aku telah menyaksikan sholat Ied bersama Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman, semuanya melakukan shalat Ied sebelum khutbah.” (HR. Al Bukhori no. 962 dan Muslim no. 84)

Sifat Sholat Ied
Sholat Ied dua rakaat, dimulai dengan takbirotul ihram, kemudian bertakbir 7 kali (selebihnya seperti sholat lainnya). Dan pada rakaat kedua bertakbir 5 kali selain takbir perpindahan gerakan, (selebihnya seperti sholat lainnya). Dan ini yang dijelaskan oleh Al Baghowi dalam Syarhus Sunnah juz 4, hal. 309.
Di antara dasarnya adalah hadits ‘Aisyah, bahwa Rasulullah senantiasa bertakbir pada sholat Iedul Fitri dan Adha, 7 takbir pada rakaat pertama, dan 5 takbir pada rakaat kedua, selain 2 takbir ruku’. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Al Baihaqi). (Lihat Ahkamul Iedain hal. 44 –46). Adapun bacaan tertentu di antara takbir, maka belum pernah dicontohkan oleh Nabi ?. Sedangkan bacaan surat yang disunnahkan (padanya) adalah Surat Qoof dan Al Qomar, sebagaimana riwayat Muslim no. 892, demikian juga Surat Al A’la dan Al Ghosyiah, sebagaimana riwayat Muslim no. 878.
Dan jika ketinggalan sholat bersama imam, maka sholat 2 rokaat. Al Imam Al Bukhori berkata: “Bab: Jika Ketinggalan Sholad Ied, Maka Sholat 2 Rokaat.“ (Lihat Fathul Baari juz 2, hal. 550)

Bagaimana dengan Wanita ?
Kaum wanita diperintah oleh Rasulullah untuk menghadiri sholat Ied, sebagaimana perkataan Ummu ‘Athiyyah: “Kami diperintah untuk menghadirkan gadis-gadis dan wanita-wanita haid pada 2 hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha –red), agar mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin, sedangkan yang haid diminta untuk menjauhi tempat sholat.“ (H.R. Al Bukhori dan Muslim).
Namun ada 2 hal yang perlu diingat, Pertama: Hendaknya keluar dengan tidak berhias, tidak memakai wewangian, dan tidak campur baur dengan laki-laki, karena dilarang oleh Rasulullah dan bisa menjadi fitnah bagi kaum lelaki. Kedua: Tidak boleh berjabat tangan dengan selain mahramnya. Sebagaimana sabda Nabi ? ketika membaiat kaum wanita: ”Sungguh Aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahrom).” (H.R. An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad). Juga sabda beliau: “Benar-benar kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.“ (H.R. Adh Dhiyaa’ Al Maqdisi) Dan hukum haramnya perbuatan ini ada di dalam kitab-kitab empat madzhab. (Lihat Ahkamul Iedain hal. 82)
Dan sebagai tambahan tentang perkara munkar di hari Ied yang harus ditinggalkan adalah: pengkhususan ziarah kubur di hari Ied atau sebelumnya, pengkhususan malam Ied untuk melakukan ritual ibadah tertentu, berpuasa di hari Ied, pelarangan wanita untuk menghadiri sholat Ied, tidak peduli terhadap fakir miskin yang kekurangan di hari itu, menyerupai orang-orang kafir dalam hal berpakaian dan berpesta pora, menggelar pesta judi, dan bertamasya ke tempat-tempat hiburan dan maksiat.
Wallohu A’lam bish Showaab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button