Tafsir

Ulil Amri Ditaati, Pembuka Pintu Kesuksesan Hakiki

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Merupakan sebuah kemestian bahwa orang yang melaksanakan ajaran Islam secara sempurna akan mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. Di antara ajaran Islam yang penuh kasih sayang dan mengandung kebaikan yang sangat besar adalah menaati ulil amri. Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim, menukilkan pendapat para ulama bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah setiap orang yang diwajibkan oleh Allah untuk ditaati, yaitu pemimpin dan umara’/pemerintah.

Ketaatan kepada ulil amri merupakan salah satu asas dan prinsip penting dalam Islam. Jika prinsip ini benar-benar ditegakkan dan dipegang teguh oleh umat Islam, niscaya mereka akan merasakan kemaslahatan dan kebaikan yang banyak. Sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa menaati ulil amri akan membuka pintu kesuksesan hakiki. Walaupun seseorang hanya berkedudukan sebagai rakyat jelata, tidak punya ‘nama’, kekuasaan pun tidak dalam genggamannya, kursi jabatan pun tidak mampu dia raih, kalau ia tetap menjunjung tinggi asas ketaatan kepada ulil amri, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memberikan berkah dalam kehidupannya. Inilah kesuksesan yang sesungguhnya. Dengan ajaran Islam yang ia jalankan dengan sebaik-baiknya, ia akan meraih kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.

Ketaatan Kepada Ulil Amri Merupakan Wujud Ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Ketika membaca al-Qur’an, tentu Anda tidak akan melewatkan ayat yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa’: 59)

Dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kaum mukminin untuk menaati Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri di tengah-tengah mereka. Maka tidak diragukan lagi bahwa ketaatan kepada ulil amri merupakan wujud ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Tidak akan lurus dan benar urusan agama (akhirat) maupun urusan dunia umat manusia kecuali dengan ketaatan dan ketundukan kepada ulil amri, yang merupakan wujud ketaatan kepada Allah dan sebagai langkah untuk mengharap pahala di sisi-Nya. (Tafsir as-Sa’di).

Ketaatan kepada ulil amri juga merupakan wujud ketaatan kepada Rasulullah n, sedangkan sikap pembangkangan kepada ulil amri adalah sama saja dengan membangkang dan tidak mau menaati Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam. Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa yang menaatiku, maka ia telah menaati Allah. Barangsiapa yang menentangku, maka ia telah menentang Allah. Barangsiapa yang menaati pemimpin (di tengah-tengah umat)ku, sungguh ia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang membangkang terhadap pemimpin (di tengah-tengah umat)ku, maka sungguh ia telah membangkang terhadap aku.” (HR. al-Bukhari, no. 7137 dan Muslim, no. 1835)

Dalam Hal Apa Ulil Amri Harus Ditaati?

Ulil amri harus ditaati ketika mereka memerintahkan kepada perkara yang ma’ruf (baik) dan membuat kebijakan yang mendatangkan kemaslahatan bersama, baik maslahat duniawi maupun ukhrawi. Setiap pribadi muslim hendaknya bersabar untuk tetap menaati pemerintahnya walaupun dirasa kebijakan tersebut tidak ia sukai.

Kalau ternyata ulil amri membuat kebijakan dan mengajak kepada perbuatan maksiat atau menyelisihi syariat, maka tidak boleh ditaati. Ketaatan kepada mereka tetap harus memperhatikan dan menimbang norma dan aturan syariat. Jika memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak boleh ditaati. Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda,

Mendengar dan menaati (waliyyul amri) merupakan kewajiban atas setiap muslim, baik dalam hal yang ia sukai maupun ia benci, selama ia tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat. Jika ia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak ada lagi kewajiban mendengar dan menaati (perintah tersebut).” (HR. Al-Bukhari no. 7144, Muslim no. 1839)

Atas dasar inilah, jika pemerintah menetapkan program atau membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka tidak ada kewajiban bagi rakyat untuk menaati kebijakan dan mengikuti program pemerintah tersebut, tentunya dengan tetap memberikan rasa hormat kepada pemerintah secara global.

Apabila Ulil Amri Bertindak Mungkar

Pemerintah adalah manusia biasa. Sebagaimana keumuman manusia yang jiwanya selalu didorong oleh hawa nafsunya untuk berbuat jelek, maka tidak menutup kemungkinan ulil amri yang sedang berkuasa di suatu negeri pun tergoda untuk berbuat jahat karena dorongan hawa nafsunya tersebut. Korupsi, kolusi, nepotisme, tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat, semena-mena terhadap pihak yang tidak disukainya adalah contoh kemungkaran yang seringkali diisukan oleh rakyat terhadap pemerintahnya.

Menghadapi kondisi aparatur pemerintahan yang seperti ini, Islam telah mengajarkan kepada kita melalui sabda Nabi n,

“Ketahuilah, barangsiapa yang memiliki penguasa, kemudian ia melihat penguasa tersebut melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya ia membenci perbuatan maksiatnya dan jangan sekali-kali melepaskan diri dari ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855)

Islam mengajarkan bahwa kemaksiatan yang dilakukan oleh penguasa bukanlah legalisasi untuk melepaskan ketaatan dan melakukan pembangkangan terhadap mereka.

Sampaipun seandainya penguasa telah melampaui batas, mengajarkan ideologi yang bertentangan dengan ajaran Islam, berhukum dengan selain hukum Allah, bahkan menindas rakyatnya, hal ini sekali lagi bukanlah legitimasi bagi rakyat untuk membangkang kepada penguasanya. Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam memberitakan bahwa kondisi penguasa yang seperti ini akan ada di tengah-tengah umat, sekaligus beliau juga mengajarkan bagaimana semestinya sikap rakyat terhadap penguasa yang seperti itu. Perhatikan dengan seksama sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam berikut (artinya),

“Sepeninggalku nanti akan ada penguasa yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula menerapkan sunnah/ajaranku. Akan ada juga para penguasa tersebut yang berhati setan dalam jasad manusia.” Aku (sahabat Hudzaifah bin al-Yaman) berkata, “Bagaimana sikapku jika aku mendapati yang demikian wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda,” Hendaklah engkau tetap mendengar dan taat terhadap penguasa, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas. Tetaplah mendengar dan taat (terhadap penguasa tersebut).” (HR. Muslim no. 1847)

Alangkah lebih baik apabila penguasa yang terjatuh ke dalam kemungkaran tersebut diingatkan dan dinasehati. Namun nasehat dan peringatan terhadap penguasa harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Sebagai ajaran yang lengkap dan sempurna, Islam telah mengajarkan etika dalam menasehati penguasa dan melakukan amar makruf nahi mungkar yang benar terhadap mereka. Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.

“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa, maka janganlah menampakkan nasehat tersebut terang-terangan. Namun hendaknya ia mengambil tangannya kemudian menyampaikan nasehat tersebut secara sembunyi-sembunyi. Jika (penguasa) mau menerima nasehatnya, maka itu yang diharapkan. Jika tidak, maka sungguh ia telah menunaikan kewajiban yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah no. 1096, dengan sanad yang shahih)

Tidak dibenarkan memperingatkan dan menasehati penguasa di depan khalayak ramai. Islam tidak mengajak pemeluknya untuk menjelek-jelekkan, menghujat, dan menjatuhkan kredibilitas serta kewibawaan pemerintah di atas podium, mimbar, atau melalui orasi terbuka dalam aksi demonstrasi dan yang semisalnya.

Kemungkaran penguasa tetaplah kemungkaran. Namun jangan sampai hal itu disikapi dengan perbuatan mungkar yang lain, yaitu melanggar aturan syariat dalam menghadapi kesalahan punguasa.

Hikmah menaati Ulil Amri

Menaati ulil amri adalah merupakan wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah hikmah terbesar. Tidak diragukan lagi bahwa seorang muslim yang tunduk dan taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya pasti akan meraih keutamaan dan kemuliaan di sisi-Nya.

Di samping itu, dengan menaati pemerintah yang sedang berkuasa, maka persatuan dan kesatuan umat akan terjaga, keamanan dan ketertiban akan terasa. Hal ini tentu akan membuahkan hasil yang manis, yaitu hubungan yang baik dan harmonis antara rakyat dan penguasanya. Kasih sayang antar sesama pun terjalin dengan indahnya. Sebaliknya, jika rakyat enggan untuk menaati pemerintahnya, atau tidak mau menjalankan program dan kebijakan mereka, maka hal ini akan mengancam persatuan umat. Keharmonisan hubungan antara rakyat dan pemerintahnya akan retak. Kasih sayang di antara mereka pun kian rapuh. Tentu yang seperti ini merupakan keadaan yang tidak kita kehendaki.

Lebih parah lagi manakala rakyat selalu mengajukan tuntutan dan memaksakan kehendaknya kepada pemerintah, merongrong kekuasaan, menjelekkan, dan menjatuhkan kredibilitas mereka, maka akibat yang akan terjadi adalah tumbuhnya sikap saling benci antara rakyat dengan penguasanya. Persatuan umat pun terancam, kebersamaan pun akan sirna.

Fakta menunjukkan bahwa aksi-aksi demonstrasi terhadap pemerintah terbukti tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan menyejahterakan rakyat. Mimbar-mimbar bebas yang menghujat pemerintah pun kenyataannya tidak kuasa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kemiskinan pun tidak bisa disulap menjadi kekayaan ketika partai dan kelompoknya berhasil “menggoyang” kursi pemerintah yang sedang berkuasa.

Hanya dengan kembali kepada ajaran Islam dan menjalani norma-normanya yang luhur sajalah yang menjadikan hidup ini lebih baik.

Wallahu a’lam bish shawab.

Penyusun: Ustadz Abu Abdillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button