Saat Sakit Bolehkah Meninggalkan Shalat dan Mengqodho’ Ketika Sembuh?

Kaum muslimin rahimakumullah,
Shalat adalah ibadah yang sangat agung dalam agama Islam, bahkan termasuk rukun Islam yang kedua. Shalat juga sebagai penentu baik tidaknya amalan yang lainnya. Jika shalat seorang baik, maka baiklah amalan yang lainnya dan sebaliknya jika shalat sesorang jelek, maka jeleklah amalan yang lainnya.
Karena begitu agungnya ibadah shalat ini, maka tidak ada keringanan bagi seorang muslim untuk meninggalkan shalat walaupun dalam keadaan safar atau sakit, selama masih sadar.
Suatu kesalahan apabila seorang muslim yang sedang sakit lalu meninggalkan shalat dengan niatan akan menggantinya ketika sembuh.
Orang yang sakit tetap melaksanakan shalat sesuai dengan kemampuannya.
Berikut ini akan dijelaskan tentang tata cara shalat orang yang sedang sakit, di antaranya adalah :
- Wajib bagi orang yang sakit untuk shalat berdiri selagi mampu.
- Barang siapa yang tidak mampu berdiri, maka shalat dengan duduk, dan lebih utama dengan duduk bersila dalam menggantikan setiap posisi berdiri.
- Apabila tidak mampu shalat dengan duduk, maka shalat dengan berbaring, wajahnya menghadap kiblat, dan lebih disukai jika dia berbaring ke lambung kanannya.
- Jika tidak mampu shalat dengan berbaring, maka shalat dengan terlentang dan kedua kakinya ke arah kiblat.
- Orang yang mampu berdiri akan tetapi tidak mampu ruku’ dan sujud, maka tidak gugur darinya kewajiban berdiri, hendaknya dia tetap shalat berdiri kemudian ruku’ dengan isyarat, kemudian duduk lalu sujud dengan isyarat.
- Jika di matanya ada penyakit, kemudian dokter yang terpercaya mengatakan, “Jika Anda shalat dengan terlentang, maka memungkinkan pengobatan untuk mata Anda.” Maka boleh baginya shalat dengan terlentang.
- Barang siapa tidak mampu ruku’ dan sujud, maka ruku’ dan sujud dengan isyarat dan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.
- Bagi siapa yang tidak mampu sujud, maka dia ruku’ dan memberi isyarat dengan sujud.
- Barang siapa yang tidak mampu membungkukkan punggungnya, cukup baginya untuk menekuk lehernya.
Apabila punggungnya bongkok, sehingga terkesan seolah-olah dia sedang ruku’. Maka disaat ia ingin ruku’, ia hanya perlu membungkuk sedikit lagi.
Hendaknya posisi wajahnya dengan lantai saat sujud, lebih dekat dari pada posisi ruku’ jika mampu.
10. Jika ia tidak mampu memberi isyarat dengan kepalanya, cukup dengan bertakbir, membaca bacaan shalat dan meniatkan dalam hatinya bahwa ia di posisi berdiri, ruku’, bangkit dari ruku’, sujud, bangkit dari sujud, duduk di antara dua sujud, atau duduk tasyahud sambil membaca dzikir-dzikir yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Adapun isyarat dengan jari yang dilakukan oleh sebagian orang sakit, itu tidak ada dalilnya.
11. Apabila di tengah shalatnya, ia mampu melakukan hal yang tidak memungkinkan dilakukan sebelumnya, seperti berdiri, duduk, ruku’, sujud, atau memberi isyarat, maka dia segera melakukannya dan terus melanjutkan shalatnya.
12. Jika ia terluput mengerjakan shalat karena ketiduran atau lupa, maka wajib baginya untuk mengerjakannya saat ia sudah bangun atau teringat. Tidak boleh meninggalkan shalat sampai masuk waktu semisal yang ia tinggalkan, untuk shalat di waktu tersebut.
13. Tidak boleh meninggalkan shalat dalam keadaan apapun, bahkan wajib bagi mukallaf (seorang yang telah dibebani kewajiban) untuk bersemangat mengerjakan shalat dalam berbagai kondisi, baik di saat sehat ataupun sakit.
Dikarenakan shalat adalah tiang agama serta kewajiban yang paling agung setelah dua kalimat syahadat.
Tidak boleh bagi seorang muslim untuk meninggalkan shalat wajib hingga terlewat waktunya, meskipun dia sakit selama akalnya masih baik. Bahkan tetap wajib baginya menunaikan shalat tepat pada waktunya, semampunya sesuai rincian yang telah disebutkan.
Adapun perbuatan sebagian orang sakit yang menunda shalatnya hingga sakitnya sembuh, maka ini tidak diperbolehkan, karena tidak memiliki landasan dalil atau bimbingan dalam syariat Islam.
14. Jika orang sakit merasa kesulitan untuk menunaikan shalat pada waktunya, boleh baginya menjama’ (menggabungkan) antara shalat Zhuhur dan shalat ashar, shalat Maghrib dan shalat Isya dengan cara jama’ taqdim ataupun jama’ takhir sesuai yang mudah baginya.
Dia bisa mengedepankan shalat Ashar dengan shalat Zhuhur (jama’ taqdim) atau mengakhirkan shalat duhur dengan shalat ashar (jama’ takhir).
Dia juga bisa mengedepankan shalat Isya dengan shalat Maghrib (jama’ taqdim) atau mengakhirkan shalat Maghrib dengan shalat Isya (jama’ takhir).
Adapun shalat Shubuh, tidak bisa dijama’ dengan shalat yang sebelumnya ataupun shalat sesudahnya, dikarenakan waktu shalat shubuh terpisah dari waktu shalat yang sebelum dan sesudahnya.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
الرئيس
عبد العزيز بن عبد الله بن باز
عضو
بكر أبو زيد
عبد العزيز آل الشيخ
صالح الفوزان
عبد الله بن غديانع