Hukum Lewat di Depan Orang Shalat
Edisi: 17 || 1440 H
Tema: Fikih
بسم الله لرّحمان الرّحيم
Shalat saatnya tuk mengikat hubungan dengan Rabb Penguasa jagad raya. Menghilangkan segala kepenatan dari pernak-pernik rimba dunia. Karena memang di antara hikmah dari menegakkan shalat adalah mendatangkan kesejukan hati. Walhasil, shalat adalah sebuah interaksi yang kuat antara sang hamba dengan sang Pencipta dan sebagai bentuk penghambaan kepada-Nya. Pantaskah hubungan tersebut terganggu karena lalu lalang orang yang lewat di hadapannya?
Pembaca rahimakumullah, bagaimana sikap Anda, kalau Anda sedang asyik berbincang-bincang dengan orang yang Anda hormati semisal ibunda, tiba-tiba ada yang nyelonong dan menerobos di antara kalian berdua? Mungkin kebanyakan dari kita tidak sabar dan bahkan marah. Cukuplah kiasan ini bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Lalu bagaimana sikap yang benar saat kita sedang shalat ada orang yang hendak melewati di hadapan?
Tentunya tidak ada bimbingan yang tepat melainkan bimbingan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Beliau shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap (sutrah/pembatas) yang dapat menghalangi (lalu lalang) manusia, lantas ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia mencegahnya. Kalau orang itu enggan (tetap memaksa lewat), maka perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia adalah syaithan.” (HR. al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129 dari shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahuanhu)
Dalam riwayat yang lain dengan lafazh,
إذاكان أحدكم يصلّي فلايدع أحدايمرّبين يديه وليدرأه مااستطاع,فإن أبى فليقاتله,فإنّهاهوشيطان
“Jika salah seorang di antara kalian shalat, jangan biarkan seseorang lewat di depannya. Tahanlah ia sebisa mungkin. Jika ia enggan ditahan maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah syaithan.” (HR. Muslim no. 505 dari shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahuanhu)
Dari hadits tersebut bisa diambil beberapa hukum penting, yaitu:
Pertama, pentingnya menghadap sutrah ketika shalat.
Kedua, seorang yang shalat diperintahkan secara syar’i untuk mencegah orang yang hendak lewat di depannya, perbuatan yang semacam ini tidak membatalkan shalatnya.
Ketiga, tahapan dalam mencegah. Langkah awal cegahlah dengan cara yang halus cukup dengan menggunakan isyarat tangan. Namun bila tetap memaksa ingin lewat, maka cegahlah dengan kuat.
Maksud Sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam “Perangilah”
Al-Imam Ibnul Arabi rahimahullah menjelaskan yang dimaksud dengan memerangi tersebut adalah menolak/mendorong (dengan kuat), bukan maknanya membunuh. Semakna dengan penjelasan ini pula dari al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah. (lihat Al-Qabas fi Syarhi Muwaththa’ Malik, [1/344] dan Al-Istidzkar, [6/163])
Jika Telanjur Lewat
Apabila seseorang telah terlanjur lewat di depan orang yang shalat, apakah dia ditarik kembali ke tempatnya semula?
Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
1) Pendapat jumhur, di antaranya: Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Ishaq dan Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “Tidak disukai menariknya kembali ke tempat semula.”
2) Sebagian ulama yang lain memandang untuk mengembalikannya ke tempat semula.
Nampaknya yang lebih kuat dan mendekati kebenaran adalah pendapat jumhur, karena dengan menariknya kembali ke tempat semula akan membuat dia lewat di depan orang yang shalat dua kali. (Fathul Bari, [1/754])
Maksud sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam, “Sesungguhnya orang yang lewat di depan orang shalat adalah syaithan”, maksudnya bahwa dia ditemani oleh syaithan, sebagaimana telah dijelaskan dalam riwayat lain,
إذاكان أحدكم يصلّي فلايدع أحدايمرّبين يديه,فإن أبى فليقاتله,فإنّ معه القرين
“Jika salah seorang di antara kalian shalat, jangan biarkan seseorang lewat di depannya. Jika ia enggan ditahan maka cegahlah ia (dengan keras), karena sesungguhnya yang bersamanya adalah syaithan.” (HR. Muslim no. 506 dari shahabat Abdullah bin Umar radhiallahuanhu)
Dosa Besar Lewat di Depan Orang Shalat
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
لويعلم المارّبين يدي المصلّي ماذاعليه,لكان أن يقف أربعين,خيراله من أن يمرّ بين يديه
“Seandainya orang yang lewat di depan orang shalat mengetahui akibat yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berdiri tegak selama 40 (tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132 dari shahabat Abu Juhaim bin Harits radhiallahuanhu). Yang dimaksud 40 adalah 40 tahun. (Syarhul Mumthi’, [3/247])
Berdasarkan hadits di atas, al-Imam Inbu Rajab rahimahullah menegaskan, al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan, “Ini adalah dalil bahwa berdirinya seseorang selama 40 tahun untuk menunggu adanya jalan agar bisa lewat, itu lebih baik daripada lewat di depan orang yang shalat jika ia tidak menemukan jalan lain.” (Fathul Bari Li Ibni Rajab, [4/80])
Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menegaskan, “Hadist ini menunjukkan haramnya lewati depan orang shalat dalam jarak yang dekat karena makna hadits ini adalah larangan yang tegas dan ancaman yang keras dari perbuatan tersebut. Dengan demikian, lewat di depan orang shalat termasuk dosa besar.” (Fathul Bari, [1/757])
Dari penjelasan al-Imam Ibnu Hajar rahimahullah, salah seorang pembesar ulama Syafi’iyah kita bisa mengambil dua kesimpulan penting, yaitu:
Pertama, hukum lewat di depan orang shalat dalam jarak yang dekat adalah haram.
Kedua, perbuatan tersebut termasuk dalam dosa besar.
Batas Jarak yang Tidak Boleh Dilewati
Para ulama berbeda pendapat tentang berapa jarak yang dilarang untuk dilewati di depan orang shalat bila di depan orang yang shalat tidak ada sutrah.
Mahdzab Hanafi dan Maliki mengatakan, “Haram untuk dilewati antara telapak kaki orang yang shalat sampai ke tempat sujudnya.”
Adapun madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa yang diharamkan untuk dilewati adalah sejauh tiga hasta dari telapak kaki orang yang shalat. (Al-Fatawal Hindiyah, [1/128], Bada’i’ush Shana’i, [2/83-84], Taudhihul Ahkam, [2/62])
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah antara kedua kaki dan tempat sujudnya, karena seorang yang shalat tidak berhak mendapatkan tempat lebih dari apa yang ia butuhkan dalam shalatnya sehingga ia tidak punya hak menahan orang yang lewat di tempat yang tidak dibutuhkannya. Adapun bila ia meletakkan sutrah maka tidak boleh dilewati antara dia dan sutrahnya. Namun kami katakan, ‘Bila engkau meletakkan sutrah maka jangan engkau berdiri jauh darinya tapi mendekatlah di mana nantinya sujudmu dekat dengan sutrah tersebut’.” (Asy-Syarhul Mumti’, [1/709])
Apakah seorang ibu harus menahan anaknya yang masih kecil lewat di hadapannya saat ia sedang shalat, padahal itu terjadi berulang-ulang di tengah shalat?
Tentu berulang-ulangnya mencegah si anak lewat dapat menghilangkan kekhusyukan dalam shalat. Sementara jika si ibu shalat sendirian tanpa menempatkan si anak di dekatnya, si ibu (tentu) mengkhawatirkan anaknya (karena tidak ada yang menjaganya).
Syaikh yang mulia, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah kembali menjawab, “Tidak ada dosa bagi si ibu membiarkan anaknya lewat di hadapannya bila memang si anak sering lalu lalang dan si ibu sendiri khawatir shalatnya terganggu bila terus-menerus mencegah si anak, sebagaimana hal ini difatwakan para ulama rahimahumullah.
Akan tetapi, sepantasnya ketika si ibu hendak shalat, memberikan sesuatu kepada anaknya yang bisa dijadikannya sebagai mainan (sehingga si anak fokus dengan benda/mainan tersebut, pent-.) sementara si anak berada di dekat ibunya. Karena apabila seorang anak diberi sesuatu yang bisa dijadikannya sebagai mainan, biasanya mainan itu membuatnya lupa terhadap yang lain.
Namun bila si anak terus menggelayuti ibunya karena merasa lapar atau haus, yang lebih utama si ibu menunda shalatnya hingga ia selesai menunaikan kebutuhan anaknya (menyuapi makanan atau memberi minum). Setelah itu ia bersiap untuk menunaikan amalan shalatnya.” (Majmu’ah As’ilah Tahummu al-Usrah al-Muslimah, hal. 151-152).
Bolehkah Lewat di antara Shaf Dalam Shalat berjama’ah?
Para pembaca rahimakumullah, perlu diketahui bahwa para makmum dalam shalat berjama’ah tidak disyariatkan untuk menghadap sutrah, berdasarkan ijma’ (kesepakatan) pada ulama. Sutrah imam adalah sutrah bagi para makmum.
Shahabat Abdullah bin Abbas radhiallahuanhu berkata (artinya), “Aku datang dengan menunggang keledai betina. Ketika itu aku hampir menginjak usia baligh. Rasulullah sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap ke dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf. Kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku itu.” (HR. al-Bukhari no. 76, dan Muslim no. 504)
Perbuatan shahabat Nabi radhiallahuanhum jika diketahui oleh Nabi shalallahu’alaihi wasallam dan banyak shahabat namun tidak diingkari, maka hal ini menjadi hujjah (dalil), yang disitilahkan oleh para ulama dengan sunnah taqririyyah, yaitu sunnah yang berasal dari persetujuan Nabi shalallahu’alaihi wasallam.
Atas dasar ini, tidak mengapa lewat di depan para makmum shalat berjama’ah dan orang yang melakukan hal ini tidak berdosa karena sutrah makmum sudah diwakili sutrah imam. Namun seandainya bisa menghindari atau meminimalisir hal ini, maka itu lebih disukai. Sebagaimana jika kita shalat tentu kita tidak ingin mendapatkan gangguan sedikit pun, maka hendaknya kita pun berusaha tidak memberikan gangguan pada orang lain yang shalat. (lihat Syarhul Mumthi’, [3/279])
Demikianlah pembahasan ini, semoga bisa menambah tersebar luasnya ajaran Nabi shalallahu’alaihi wasallam. Lebih dari itu, semoga kita menjadi bagian dari umat Nabi Muhammad yang selalu menghidupkan ajaran beliau shalallahu’alaihi wasallam. Amin. Wabillahi at-taufiq.
Penulis: Ustadz Arif hafizhahullah