Hadits

Agar Hati Bisa Merasakan Lezatnya Iman

Edisi: 03 || 1440 H
Tema: Hadist

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثلاث من كنّ فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحبّ إليه ممّا سواهما وأن يحبّ المرء لا يحبّه إلاّ الله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذ ف في الناّر

“Ada tiga perangai apabila ada pada diri seorang hamba maka dia akan merasakan manisnya iman, yaitu menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya, mencintai seserorang karena Allah dan tidak suka kembali kepada kekafiran sebagaimana dia tidak suka untuk dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. al-Bukhari no. 16 dari shahabat Anas bin Malik radhiallahuanhu)

Para pembaca rahimakumullah.

Iman memiliki kelezatan dan rasa yang bisa dinikmati oleh hati sebagaimana lezatnya makanan dan minuman yang dirasakan oleh lidah. Sungguh iman merupakan gizi dan suplemen untuk kekuatan hati sebagaimana makanan dan minuman merupakan gizi dan suplemen untuk kekuatan badan.

Maka sebagaimana tubuh ini tidak akan bisa merasakan lezatnya makanan dan minuman melainkan ketika dalam kondisi sehat, demikian pula yang namanya hati pun akan merasakan manis dan lezatnya iman tatkala selamat dari penyakit-penyakit hawa nafsu yang menyimpang dan syahwat yang diharamkan.

Sehingga ketika hati ini sakit maka dia pun tidak akan bisa merasakan lezatnya iman. Pada hadits di atas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa ada tiga perangai mulia yang apabila semuanya itu terkumpul pada diri seorang hamba maka dia akan merasakan lezatnya iman.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadist ini merupakan hadits yang agung yang merupakan pokok dari pokok-pokok Islam.” (Syarh Shahih Muslim li an-Nawawi juz 2, hal. 13)

Para ulama mengatakan, “Makna manisnya iman adalah merasakan kelezatan ketika melakukan berbagai amalan ketaatan, rela memikul beban-beban kesulitan dalam mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya, dan lebih mendahulukan perkara tersebut daripada harta benda dunia. Kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya akan mendorong untuk melaksanakan perkara yang diperintahkan dan meninggalkan perkara yang dilarang oleh-Nya. Demikian pula kecintaannya kepada Rasulullah akan mendorongnya untuk melaksanakan perkara yang diperintahkan dan meninggalkan perkara yang dilarang oleh beliau.” (Syarh Shahih Muslim li an-Nawawi juz 2, hal. 13)

As-Sindi rahimahullah mengatakan, “Manisnya iman adalah lapangnya dada dengan iman tersebut.” (Syarh Sunan an-Nasa’i li as-Sindi juz 8, hal. 94)

Wuhaib ibnul Ward rahimahullah pernah ditanya, “Apakah orang yang bermaksiat kepada Allah akan bisa merasakan lezatnya iman?”, maka beliau menjawab, “Tidak sama sekali dan termasuk pula seorang yang hanya sekedar punya keinginan untuk berbuat maksiat pun tidak akan merasakan lezatnya iman.” (Fathul Rari juz 1, hal. 46)

Adapun penjelasan masing-masing dari tiga perangai tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mendahulukan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya daripada selain keduanya.

Cara menumbuhkan kecintaan kepada Allah ta’ala bisa melalui pengenalan terhadap-Nya. Yaitu dengan mengenal nama-nama-Nya yang indah, sifat-sifat-Nya yang sempurna dan perbuatan-perbuatan-Nya yang agung. Demikian pula dengan merenungi ciptaan-ciptaan-Nya yang sempurna, yang mengandung hikmah dan penuh dengan keajaiban. Yang demikian ini menunjukkan akan kesempurnaan, kekuasaan, hikmah, ilmu dan kasih sayang Allah ta’ala. Kecintaan kepada Allah juga bisa ditumbuhkan dengan cara memperhatikan nikmat-nikmat-Nya. (Fathul Bari juz 1, hal 46)

Seorang yang cinta kepada Allah ta’ala maka dia akan taat kepada-Nya karena kecintaan kepada sesuatu akan mengharuskan ketaatan kepada sesuatu tersebut. Sebagaimana ucapan sebagian salaf, “Barangsiapa yang mengenal Allah maka dia akan mencintai-Nya dan barangsiapa yang mencintai-Nya maka dia akan menaati-Nya”. (Fathul Bari juz 1, 46-47)

Kecintaan kepada Allah ta’ala memiliki dua tingkatan:

a) Wajib, yaitu kecintaan hamba kepada Allah ta’ala yang mengharuskan dia melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta bersabar dalam menhadapi takdir yang buruk. Sehingga barangsiapa yang tidak demikian keadaannya berarti dia telah dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah ta’ala.

Sebagaimana ungkapan sebagian orang bijak, “Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah ta’ala namun tidak menjaga batasan-batasan-Nya berarti dia adalah seorang pendusta.” Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan yang diharamkan oleh Allah atau meninggalkan amalan yang diwajibkan oleh-Nya maka berkuranglah rasa cintanya kepada Allah sesuai dengan kadar dia dalam mendahulukan kecintaan kepada dirinya dan hawa nafsunya dibandingkan kecintaannya kapada Allah ta’ala.

Karena sesungguhnya apabila kecintaan kepada Allah itu sempurna niscaya kecintaan tersebut akan menghalanginya dari terjatuh ke dalam perbuatan dosa disebabkan karena kurangnya rasa cinta kepada Allah ta’ala dalam hatinya dan lebih mendahulukan kecintaan kepada hawa nafsu daripada kecintaan kepada Allah ta’ala.

b) Sunnah, yaitu kecintaan hamba kepada Allah ta’ala dalam bentuk, mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan amalan-amalan yang hukumnya sunnah. Menjauhkan diri agar tidak terjatuh ke dalam perkara-perkara yang syubhat (meragukan) dan makruh sekecil apapun bentuknya, serta ridha terhadap ketentuan-ketantuan Allah yang pahit baginya.

Tidaklah seorang hamba bisa mencapai tingkatan sunnah melainkan setelah dia mengamalkan tingkatan yang wajib. Adapun cara menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan mengenal sosok beliau dan sifat-sifatnya serta mengagungkan ajaran yang dibawa oleh beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.

Kecintaan seorang hamba kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ini akan menumbuhkan kecintaan dia kepada Dzat yang mengutus Rasulullah yaitu Allah ta’ala. Kecintaan kepada Allah ta’ala tidaklah akan sempurna melainkan dengan menaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Tidak ada cara lain untuk bisa menaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam melainkan dengan mengikuti dan meneladani beliau. Kecintaan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga memiliki dua tingkatan:

a) Wajib, yaitu kecintaan yang mengharuskan seorang hamba untuk menaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan melaksanakan semua perintah beliau dan menjauhi semua larangan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, ridha dalam menjalankan itu semua, tidak merasa berat hati dalam menjalani syariat beliau dan menerimanya dengan sepenuh hati.

b) Sunnah, yaitu kecintaan seorang hamba kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang terealisasi dalam bentuk meneladani akhlak beliau, baik dalam bermuamalah dengan keluarga atau sesama muslim, zuhud di dunia, sangat berharap kepada akhirat, dermawan, mendahulukan kebutuhan saudaranya daripada dirinya sendiri, rendah hati dan akhlak-akhlak lainya.

2. Mencintai Seseorang karena Allah ta’ala

Cinta di jalan Allah ta’ala merupakan salah satu dasar keimanan dan merupakan tali keimanan dan merupakan tali keimanan yang paling kuat. Barangsiapa mendahulukan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya akan membuahkan cinta kepada orang lain semata-mata karena Allah dan bukan karena urusan pribadi atau hawa nafsu.

Demikian pula tatkala memberi atau menahan pemberian semata-mata juga karena Allah dan bukan karena dorongan hawa nafsu atau urusan dunia. Maka janganlah mencintai seseorang semata-mata disebabkan hartanya, kedudukannya, tampannya, cantiknya, atau sesuatu yang banyak memberikan manfaat.

Demikanlah tatkala seorang hamba mendahulukan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya maka dia akan mencintai segala sesuatu yang dicintai oleh Allah ta’ala baik berupa ucapan maupun perbuatan dan akan membenci segala sesuatu yang dibenci oleh Allah ta’ala.

Maka tidak sempurna kecintaan seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya hingga dia mencintai dan membela wali-wali Allah serta membenci dan memusuhi musuh-musuh Allah ta’ala. Sehingga seorang hamba dikatakan mencintai saudaranya karena Allah manakala dia mencintai saudaranya karena saudaranya tersebut taat kepada Allah, seperti menjaga shalat lima waktu, menghafal al-Qur’an, berbakti kepada kedua orang tua, dll.

3. Tidak Suka Kembali kepada Kekafiran Sebagaimana Tidak Suka Dilemparkan ke Dalam Api Neraka.

Sesungguhnya tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mencintai segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya dan membenci segala sesuatu yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga jika iman itu telah merasuk dan menghujam benar dalam hati seorang hamba serta telah terasakan kelezatannya maka si hamba tersebut akan mencintai iman, mencintai kekokohan iman dan bertambahnya iman dalam hatinya, serta dia tidak suka atau benci kalau seandainya iman tersebut berpisah dari dirinya.

Kecintaan orang yang beriman terhadap iman adalah sangat besar bila dibandingkan dengan kecintaannya terhadap air yang sangat dingin di saat cuaca yang sangat panas dan sangat haus. Kebencian orang yang beriman kalau seandainya iman tersebut keluar dari dirinya adalah sangat besar bila dibandingkan dengan kebenciannya tatkala dirinya dibakar oleh api dan pernyataan yang demikian ini terbukti nyata pada kisah sebagian hamba Allah yang mempertaruhkan dirinya untuk dibakar dengan api daripada harus menukar keimanan dengan kekafiran.

Sebagaimana dalam kisah Ashabul Ukhdud yang diceritakan dalam surat al-Buruj yang mengisahkan tentang keteguhan orang-orang yang beriman dimana mereka lebih memilih untuk terjun ke dalam parit api yang menyala-nyala daripada dipaksa untuk melepas keimanannya oleh seorang penguasa kafir ketika itu.

Demikian pula pada kisah ketegaran Abu Muslim al-Khaulani rahimahullah -seorang tabi’in- ketika diancam untuk dimasukkan ke dalam api yang menyala-nyala oleh seorang nabi palsu yang bernama al-Aswad al-Ansi jika tidak mau mengakui kenabiannya. Namun Abu Muslim al-Khaulani tetap kokoh di atas keimanannya hingga Allah ta’ala selamatkan beliau dari kekejaman al-Aswad al-Ansi.

Semoga Allah ta’ala memberikan kepada kita kekokohan dan ketegaran di atas iman dan dijauhkan dari sikap kecondongan kepada kekafiran. Amiin.

Penulis: Ustadz Muhammad Rifki hafizhahullah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button