Akhlaq

Hasad, Penyakit Umat Terdahulu yang Menjangkiti Kaum Muslimin 2

Buletin Islam Al Ilmu Edisi no:29/VII/IX/1432


Para pembaca rahimakumullah…

Pada edisi yang lalu (no. 28/VII/IX/1432) telah dimuat tentang hasad, adapun edisi kali ini sebagai kelanjutan dari edisi yang sebelumnya.

Kita telah membahas tentang perbedaan antara hasad dengan ghibthah, akan tetapi mungkin ada yang bertanya-tanya mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebut ghibthah sebagai hasad. Berikut ini kami sajikan penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah, selamat menyimak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Jika ada yang mengatakan, mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menamakannya dengan hasad, padahal orang tadi hanyalah menginginkan untuk diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Maka dijawab bahwa sumber keinginan ini adalah karena ia melihat orang lain diberi nikmat, serta ketidaksukaannya ada orang lain yang lebih unggul darinya. Jika tidak ada orang lain (yang memperoleh nikmat itu) niscaya dia juga tidak menginginkannya. Karena sumbernya adalah ketidaksukaannya untuk disaingi oleh orang lain (dalam kebaikan) maka dinamakanlah hasad.

Jiwa manusia tidaklah hasad kepada orang yang beramal pada sesuatu yang besar keletihannya, seperti jihad. Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menyebutkannya meskipun jihad fi sabilillah lebih utama dari orang yang menginfakkan hartanya.

Demikian pula, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menyebutkan (dalam hadits ini) orang yang shalat, puasa, dan haji. Karena pada amalan-amalan ini biasanya manusia tidak mendapatkan manfaat (dari pelakunya), yang dengannya mereka mengagungkan orang tersebut dan menjadikannya sebagai pemimpin, sebagaimana manfaat yang diperoleh dari taklim dan infak.

Hasad asalnya hanyalah terjadi karena sesuatu yang diperoleh orang lain mendatangkan kepemimpinan. Oleh karena itu, orang yang beramal biasanya tidaklah dihasadi meskipun ia bernikmat-nikmat dengan makan, minum, dan nikah lebih banyak dari yang lain. Ini sangat berbeda dengan dua jenis orang tersebut (orang yang berlimu dan orang yang berinfak), keduanya sering dihasadi. Oleh karena itu, di tengah-tengah orang yang berilmu yang memiliki pengikut didapati sifat hasad yang tidak didapatkan pada orang yang tidak seperti itu. Demikian pula orang yang memiliki pengikut disebabkan infaknya.

Orang yang berilmu akan memberi manfaat kepada manusia dengan santapan rohaninya, dan orang yang kaya akan memberikan manfaat kepada manusia dengan kebutuhan jasmani. Dan semua manusia membutuhkan apa yang menjadikan ruh (hati) dan badannya baik.

Inilah sahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk bersedekah, bersamaan dengan saat di mana aku punya harta. Aku menyatakan: “Hari ini aku akan saingi Abu Bakr jika aku bisa menyainginya pada suatu hari.” ‘Umar berkata: “Aku datang membawa setengah hartaku.” ‘Umar berkata lagi: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan kepadaku, ‘Apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’ Aku berkata, ‘Harta yang semisalnya.’ Lalu datanglah Abu Bakr membawa semua yang dimilikinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya kepada Abu Bakr, ‘Apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’ Dia menjawab, ‘Aku sisakan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Maka aku (‘Umar) berkata: “Aku tidak akan menyaingimu dalam sesuatu pun selama-lamanya.”

Apa yang dilakukan ‘Umar adalah bentuk berlomba-lomba (dalam kebaikan) dan hasad yang diperbolehkan. Namun keadaan Abu Bakr lebih utama darinya, karena ia terbebas dari menyaingi orang lain secara mutlak. Ia tidak melihat kepada orang lain (ketika berinfak).

Demikian pula Nabi Musa ‘alaihis salam (seperti) dalam hadits Isra` Mi’raj. Muncul dalam dirinya keinginan menyaingi dan iri kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sehingga ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melewati Nabi Musa ‘alaihis salam, Nabi Musa ‘alaihis salam menangis. Ia ditanya: ‘Apa yang menyebabkanmu menangis?’ Musa berkata: ‘Aku menangis karena ada seorang pemuda –yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam – yang diutus sepeninggalku, umatnya yang akan masuk surga lebih banyak daripada umatku’.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah rahimahullah, 10/113-117)

Faedah Bersihnya Hati dari Sifat Hasad

Sesungguhnya, di antara tuntunan keimanan adalah seseorang mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana yang ia cintai untuk dirinya. Keimanan yang benar akan mendorong pemiliknya untuk menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan mencegahnya dari terjerumus ke dalam lembah kehinaan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling hasad, dan janganlah kalian saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim, Kitabul Birri wash Shilah, bab no. 7, hadits no. 2559, dari jalan Anas bin Malik a)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Dahulu kami duduk-duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallambersabda:

“Sekarang akan muncul kepada kalian dari jalan ini, seorang lelaki dari penghuni surga.”

Anas a berkata: “Lalu muncullah seorang lelaki dari kalangan Anshar, jenggotnya meneteskan air karena wudhu. Orang tersebut mengikatkan kedua sandalnya di tangan kirinya. Orang itu pun mengucapkan salam. Keesokan harinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengucapkan yang seperti itu. Muncul lagi lelaki itu seperti pada kali yang pertama. Hari ketiga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengucapkan hal yang sama, dan muncul lagi lelaki itu seperti keadaannya yang pertama.

Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah berdiri, lelaki itu diikuti oleh Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu. Kemudian Abdullah berkata: “Sesungguhnya aku bertengkar dengan ayahku, lalu aku bersumpah untuk tidak masuk kepadanya selama tiga (hari). Jika engkau mempersilakan aku tinggal di rumahmu hingga lewat tiga hari, maka akan aku lakukan. Lelaki itu berkata: “Ya.”

Anas berkata: “Adalah Abdullah –yakni bin ‘Amr– bercerita bahwa ia menginap bersamanya tiga malam.” Anas berkata lagi: “Ia tidak melihat lelaki itu shalat malam sedikitpun. Hanya saja bila ia terbangun dari tidurnya di malam hari dan menggerakkan (tubuhnya) di atas kasurnya, ia berdzikir kepada Allah dan bertakbir, sampai ia bangun untuk shalat fajar (subuh). Hanya saja, jika ia terbangun di malam hari, ia tidak berucap kecuali kebaikan. Abdullah berkata: ‘Tatkala tiga malam itu lewat, dan aku hampir-hampir menganggap remeh amalannya, aku berkata: ‘Wahai hamba Allah, (sebenarnya) tidak ada ketegangan dan pemboikotan antara aku dengan ayahku. Namun aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berucap (tiga kali): ‘Sekarang akan muncul kepada kalian salah seorang penduduk surga.’ Lalu engkau muncul, tiga kali. Saya ingin tinggal menginap di tempatmu sehingga aku tahu apa amalanmu. Namun aku tidak melihat engkau banyak beramal. Apa gerangan yang menyebabkan kedudukanmu sampai seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?’ Dia menjawab: ‘Tidak ada, kecuali yang kamu lihat.’ Abdullah berkata: ‘Aku pun meninggalkannya.’ Tatkala aku berpaling, ia memanggilku. Ia berkata: ‘Aku tidak punya amalan (yang menonjol) kecuali apa yang engkau lihat. Hanya saja aku tidak dapatkan dalam diriku kedengkian terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Dan aku tidak hasad kepadanya atas kebaikan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya.’ Abdullah berkata: ‘Inilah hal yang menyampaikan engkau kepada kedudukan itu. Dan inilah yang tidak dimampui (susah dilaksanakan)’.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12/8-9, no. 6181, dan Ahmad dalam Al-Musnad, dan dishahihkan oleh Al-‘Iraqi rahimahullah dalam Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar, 2/862, no. 3168)

Sepuluh Sebab Terhindar dari Kejahatan Orang yang Hasad

1. Berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejahatan orang yang hasad.

2. Bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjamin penjagaan bagi orang yang bertakwa. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman (yang artinya):

“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudaratan kepadamu.” (Ali ‘Imran: 120)

3. Bersabar atas musuh, karena tidaklah seorang ditolong dari orang yang hasad dan musuhnya, sebagaimana orang yang bersabar atasnya dan bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

4. Tawakal. Karena orang yang bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Ia akan mencukupinya. Tawakal termasuk faktor terkuat yang dengannya seorang hamba menangkal apa yang tidak dia mampu berupa gangguan makhluk dan kezalimannya.

5. Mengosongkan hati dari sibuk dan memikirkan orang yang hasad kepada dirinya. Setiap kali terbetik di benak, ia menepisnya dan memikirkan sesuatu yang lebih bermanfaat.

6. Mengarahkan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ikhlas kepada-Nya, serta menjadikan kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keridhaan-Nya di tempat terbetiknya pikiran. Sehingga benaknya penuh dengan segala yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dzikir kepada-Nya.

7. Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala dosa. Seseorang dikuasai musuh karena dosanya. Dan tidaklah seorang hamba disakiti kecuali karena dosa, baik yang ia ketahui maupun tidak. Dan dosa yang tidak dia ketahui jauh lebih berlipat daripada yang ia ketahui. Dosa yang ia lupakan lebih besar daripada yang ia ingat.

8. Bersedekah dan berbuat baik semampunya. Karena hal itu memiliki pengaruh yang hebat dalam menangkal bencana, mata yang jahat, dan kejelekan orang yang hasad. Orang yang berbuat baik dan bersedekah kepada orang lain, hampir-hampir tidak pernah terkuasai oleh jahatnya hipnotis, hasad, dan yang menyakitkan. Jika ia terkena suatu kejahatan, ia akan diperlakukan lembut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan memperoleh dukungan.

9. Yang paling berat adalah memadamkan api orang yang hasad dan zalim serta menyakitinya, dengan berbuat baik kepadanya. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Fushshilat: 34-35.

Perhatikanlah keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika dipukul oleh kaumnya sampai berdarah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengusap darah itu seraya mengucapkan:

“Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Orang yang memaafkan orang lain dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadanya akan mendapatkan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada seorang sahabat yang mengadu kepada beliau tentang karib kerabatnya, di mana ia berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat jelek terhadapnya:

“Senantiasa ada penolong dari Allah selagi kamu di atas keadaan yang seperti itu.”

Di samping itu pula, manusia akan memujinya dan bergabung bersamanya menghadapi musuhnya.

10. Memurnikan tauhid. Makhluk-makhluk ini ada yang menggerakkannya. Tidaklah makhluk mendapatkan manfaat dan mudarat kecuali seijin Penciptanya. Jika seseorang memurnikan tauhid maka hilanglah ketakutan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hatinya. Musuhnya menjadi lebih ringan di matanya daripada ditakuti bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan keluar dari hatinya kesibukan memerhatikan musuhnya, lalu hatinya akan dipenuhi dengan cinta, takut, kembali, dan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia memandang bahwa menggunakan pikirannya untuk memikirkan musuhnya adalah bentuk lemahnya tauhid. Karena, jika ia telah memurnikan tauhid, niscaya dalam hatinya ada kesibukan tersendiri.

(Dinukil secara ringkas dari At-Tafsirul Qayyim lil Imam Ibnul Qayyim, hal. 585-594)

Wallahu a’lamu bish shawab.

______________________________

Diambil dari situs www.asysyariah.com, dari artikel dengan judul yang sama, karya Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc. dengan sedikit perubahan dari redaksi.

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button