Khusus

Meninjau Ulang EMANSIPASI

Buletin Islam AL ILMU Edisi: 21 /V/VIII/1431

Prinsip kewanitaan dalam Islam menjadi tema yang tak habis-habisnya disoroti oleh aktivis perempuan dan kalangan feminis. Mulai dari soal kepemimpinan, peran dan partisipasi wanita, hingga masalah sensitif berjuluk poligami. Semuanya bermuara pada sebuah gugatan, bahwa wanita harus diberi hak yang sama alias sejajar dengan pria dalam segala hal.

Adalah sebuah kenyataan, bahwa wanita berbeda dengan pria dalam banyak hal. Baik perbedaan kondisi fisik, sisi emosional yang menonjol, maupun yang lainnya. Bahkan hal-hal tersebut bersifat kodrati, bukan label sosial yang dilekatkan sebagaimana yang sering didalilkan oleh banyak kaum feminis. Walaupun tentunya, wanita memiliki sekian banyak kelebihan yang tak dimiliki kaum pria. Kelebihan dan kekurangan masing-masing akan saling melengkapi sehingga pria dan wanita bisa bersenyawa menjadi sepasang suami-istri.
Namun, tatanan ini nampaknya hendak dicabik-cabik oleh para penjaja emansipasi yang mengemasnya sebagai kesetaraan gender. Hal itu diklaim sebagai simbol kemajuan negara-negara Barat. Para feminis dan aktivis perempuan itu seolah demikian percaya bahwa kemajuan terletak pada segala hal yang berbau Barat.
Padahal jika mau jujur, emansipasi tak lebih dari sekedar ‘produk gagal’ dari industri peradaban Barat. Mereka seakan tutup mata dengan keroposnya sendi-sendi masyarakat Barat dengan tingginya angka perceraian, meratanya seks bebas, merebaknya homoseksualitas karena dilegalkan, dan berbagai tindak asusila lainnya. Oleh karena itu, tuntutan emansipasi yang berkiblat pada Barat, sudah saatnya ditinjau ulang.

Sejarah Munculnya Emansipasi
Dari kacamata sejarah, munculnya gerakan emansipasi berawal dari rasa frustasi dan dendam terhadap sejarah kehidupan Barat yang dianggap tidak memihak kaum wanita. Supremasi masyarakat feodal pada abad ke-18 di Eropa, dominasi filsafat dan teologi gereja yang cenderung meremehkan dan melecehkan kaum wanita, telah ikut andil menyulut kemarahan kaum wanita untuk menyuarakan gagasan-gagasan emansipasi.
Dituturkan, bahwa 6 Oktober 1789 merupakan tonggak awal munculnya aksi-aksi para wanita. Sebuah aksi yang terjadi di depan
Gedung Balai Kota Paris yang lantas bergeser ke depan istana raja, Versailles. Mereka menyuarakan kesetaraan gender, menuntut perlakuan yang sama dengan kaum pria.
Pemberontakan kaum wanita Perancis dilatarbelakangi oleh perlakuan sewenang-wenang beberapa pihak terhadap para wanita. Mereka diperlakukan tidak adil, dihinakan, bagai seonggok tubuh yang tiada lagi berguna.
Lambat laun berhembuslah angin emansipasi menuju Bumi Nusantara. Tepatnya di Yogyakarta, kongres wanita pertama pada tanggal 22 Desember 1928 konon menjadi awal pergerakan emansipasi di Indonesia. Sama, mereka pun menuntut adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Mulai soal kepemimpinan, partisipasi dalam dunia perpolitikan, hingga gugatan soal poligami merupakan masalah yang ketika itu disoroti aktivis perempuan dan kalangan feminis.
Demikianlah sejarah menorehkan. Ternyata emansipasi tidak hanya menuntut perlakuan adil, namun merupakan upaya penyamaan antara laki-laki dan wanita. Sebuah upaya yang terlalu dipaksakan, hingga akhirnya menembus batas-batas agama yang berujung terkoyaknya fitrah wanita itu sendiri.
Seolah-olah dalam agama ini terjadi pembedaan yang membabi buta antara pria dan wanita. Padahal tidak, bukan seperti itu. Islam sangat mengajarkan keadilan, namun bukan persamaan dalam segala hal. Sehingga wanita benar-benar sangat dimuliakan dalam agama Islam.

Islam Memuliakan Wanita
Islam tak semata memuliakan kaum pria. Cahaya Islam telah memupus sejarah kelam kehidupan wanita. Sebelum Islam memancarkan cahayanya, perlakuan terhadap kaum wanita di kalangan bangsa Arab begitu buruk. Mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan adalah tradisi Arab ketika itu.
Perasaan malu, jatuh martabatnya dihadapan masyarakat manakala bayi yang lahir adalah perempuan. Allah Subhanallahu wa Ta’ala mengabarkan kejadian tersebut (yang artinya):
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan ia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari banyak orang disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan atau menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58-59)
Selain itu, dalam adat jahiliyah Arab, wanita tidak mendapatkan warisan sedikitpun. Bahkan mereka diperlakukan sebagai barang warisan. Bila seorang istri ditinggal wafat suaminya, maka anak laki-lakinya berhak mewarisi istri ayahnya. Demikian kenyataannya saat Islam belum hadir. Amat sangat terpuruk nasib wanita.
Kini, dengan barokah agama Islam, kaum wanita mendapat tempat yang layak. Semua diskriminasi jahiliyah tersebut terhapus dengan datangnya agama Islam. Bahkan adanya surat An-Nisaa` dalam Al-Qur`an merupakan salah satu bukti, bahwa derajat wanita begitu mulia dalam Islam.
Juga, Islam menghasung setiap wanita muslimah untuk beramal shalih, menunaikan segala aktifitas syar’i tanpa harus merobek-robek fitrahnya sebagai seorang wanita dengan pahala yang sama antara laki-laki dan perempuan. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan kami beri balasan kepada mereka dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Dalam masalah berbuat kebajikan, Islam senantiasa mendorong kaum pria maupun wanita. Dalam ayat lainnya Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan dirinya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)
Renungkanlah, wahai para pegiat emansipasi! Adakah dalam ayat di atas sikap diskriminasi terhadap wanita? Tidak, sama sekali tidak! Namun kami tidak tahu, jika hawa nafsu yang menjawabnya. Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala selalu membimbing kita. Amiin yaa mujiibas saailiin.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsir beliau (6/417) menyebutkan kisah salah seorang istri Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bernama Ummu Salamah  radliyallahu ‘anha, ia bertanya:
“Wahai Rasulullah, mengapa kaum pria sering disebutkan dalam Al-Qur’an, sementara kaum wanita tidak? Maka Allah Subhanallahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

‘Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin … dan seterusnya hingga akhir ayat (Al-Ahzab: 35–red).” (HR. Ahmad dalam kitab Al-Musnad no. 25363 & 25389, An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubro no.11404, dan Ath-Thobari dalam Jami’ Al-Bayan, 7/486, 20/269 & 270)
Cermatilah, wahai wanita, kisah mulia di atas! Sejenak saja merenungi, niscaya akan didapat mutiara hikmah darinya. Bagaimana Islam begitu adil dalam memperlakukanmu.
Jangan engkau katakan bahwa tafsir yang terkait dengan masalah wanita dihasilkan dari para penafsir yang dominasi oleh laki-laki, sehingga cenderung membela laki-laki. Jangan, jangan terlontar! Kata-kata itu dapat mengeroposkan dan meruntuhkan sendi-sendi keimanan di kalbumu.
Tak kalah, Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan wanita sholihah sebagai sebaik-baik perhiasan dunia. Beliau  Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Dunia adalah perhiasan. Sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim no. 2668, Ibnu Majah no. 1855 dari shahabat Abdullah bin ‘Amr  radliyallahu ‘anhu)
Terjadi sebuah dialog antara Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan seorang budak wanita. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya:

“Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ’Di atas langit.’ Rasulullah bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ ‘Engkau Rasulullah,’ tandasnya. Rasulullah berkata: ‘Merdekakan dia. Karena sesungguhnya dia seorang wanita beriman.” (HR. Abu Daud no. 3282, An-Nasa’i no. 1218 dari shahabat Mu’awiyah ibnul Hakam As-Sulami  radliyallahu ‘anhu)
Coba sekali lagi cermati kisah di atas. Betapa kemuliaan seorang wanita bukan semata diukur dari keelokan paras dan tubuhnya. Bukan pula karena kekayaan yang menyelimutinya. Tidak pula lantaran keturunan semata.
Kisah hadits di atas membeberkan demikian gamblang, betapa keimanan yang kokoh mampu mengantarkan seseorang memperoleh kemuliaan. Keimanan budak wanita itu telah mengurai belenggu budak yang mengikatnya. Dia menjadi seorang wanita yang dengan leluasa menghirup udara segar kebebasan yang nyata.
Namun nyatanya suara-suara sumbang dari kalangan pengusung emansipasi masih saja menggaung. Propagandanya telah memperkuat
citra yang rendah terhadap ibu rumah tangga, bahwa berkutatnya wanita dalam wilayah rumah alias dapur, sebelum bisa menapaki karir yang tinggi, dianggap sebagai sebuah bentuk keterbelakangan.
Falsafah ini kian diperparah dengan paham yang menuhankan kecantikan fisik. Hasilnya banyak wanita yang tidak mau menyusui anaknya dengan ASI, hanya mau melahirkan lewat jalan operasi, menanggalkan jilbab, dan se-abreg keanehan lainnya, dengan dalih demi menjaga keelokan dan bentuk tubuh semata. Sedemikian rusaknya pandangan ini, hingga anak pun dianggap sebagai penghambat kemajuan karir.
Padahal jika dicermati, ‘aqidah’ ini hanyalah buah dari sikap latah terhadap budaya Barat. Alias silau terhadap kemajuan fisik Barat, yang kemudian melahirkan pemahaman bahwa kemunduran wanita-wanita Islam disebabkan karena tidak mengikuti Barat seakan menjadi harga mati. Ingatlah sabda Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi wa Sallam ‘anhu seraya mengecam:

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Daud no. 4031, Ahmad no. 4868 dari shahabat Ibnu Umar h. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah ‘anhu dalam kitab Al-Irwa’ no. 2691)
Padahal jika mau jujur, peradaban barat kini sedang dihantui oleh berbagai kerusakan di bidang sosial akibat kebebasan yang kebablasan. Keroposnya sendi-sendi masyarakat mereka karena tingginya aksi bebas antar pria dan wanita yang bukan menjadi rahasia lagi. Namun masih saja para penjaja emansipasi seakan menutup mata terhadap realita tersebut.
Karenanya, sungguh teramat tidak santun bila ada seorang muslimah menyuarakan bahwa kemuliaan wanita bisa tergapai manakala kesetaraan gender terpenuhi. Naif, sungguh teramat naïf. Bagai menegakkan benang basah.
Saat dirinya menyuarakan emansipasi wanita, saat itu pula jaring-jaring setan telah mengikatnya. Setan menyeretnya secara halus yang berujung terjerembabnya para pegiat emansipasi ke lubang kehinaan. Hina karena syari’at Allah Subhanallahu wa Ta’ala hendak disingkirkan.
Oleh karena itu, jika wanita masih saja menanggalkan nilai-nilai syari’at dan terus mengaca pada budaya Barat, sudah saatnya kita meninjau ulang emansipasi!!
Wa Billahit Taufiq.
Wallahu a’lam bish showab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button