Akhlaq

HASAD, Penyakit Umat Terdahulu yang Menjangkiti Kaum Muslimin

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 28/VII/IX/1432

Hasad, bisa jadi adalah penyakit jiwa yang paling sering menjangkiti atau setidaknya pernah mendera kita tanpa disadari. Penyakit ini sesungguhnya adalah penyakit “tertua” yang menjadikan iblis membangkang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang memilukan, penyakit ini kemudian banyak diwarisi kaum muslimin hingga sekarang.

Maha Suci Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah membagi-bagi perangai para hamba-Nya sebagaimana Ia telah membagi-bagi rizki di antara mereka. Di antara manusia ada yang dianugerahi perangai yang baik, jiwa yang bersih dan cinta terhadap saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya berupa kebaikan. Ada pula jenis manusia yang jelek perangainya, kotor jiwanya serta tidak suka terhadap kebaikan yang diperoleh saudaranya.

Pengertian Hasad

Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan hasad. Namun inti ungkapan mereka, hasad adalah sikap benci dan tidak senang terhadap apa yang dilihatnya berupa baiknya keadaan orang yang tidak disukainya. (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah rahimahullah, 10/111)

An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari yang memperolehnya, baik itu nikmat dalam agama ataupun dalam perkara dunia.” (Riyadhush Shalihin, Bab Tahrimil Hasad, no. 270)

Sebab-sebab Terjadinya Hasad

Pada dasarnya, jiwa manusia memiliki tabiat menyukai kedudukan yang terpandang, dan tidak ingin ada yang menyaingi atau lebih tinggi darinya. Jika ada yang lebih tinggi darinya, ia pun sempit dada dan tidak menyukainya, serta ingin agar nikmat itu hilang dari saudaranya. Dari sini jelaslah bahwa hasad merupakan penyakit kejiwaan. Hasad merupakan penyakit kebanyakan orang. Tidak terbebas darinya kecuali segelintir manusia. Oleh karena itu dahulu dikatakan: “Tiada jasad yang bebas dari sifat hasad. Akan tetapi orang yang jelek akan menampakkan hasadnya, sedangkan orang yang baik akan menyembunyikannya.”

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah ditanya: “Apakah seorang mukmin itu (memiliki sifat) hasad?” Beliau rahimahullah menjawab: “Begitu cepatnya engkau lupa (tentang kisah hasad) saudara-saudara Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Namun sembunyikanlah hasad itu di dalam dadamu. Hal itu tidak akan membahayakanmu selagi tidak ditampakkan dengan tangan dan lisan.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah rahimahullah, 10/125)

Sebab-sebab terjadinya hasad banyak sekali. Di antaranya permusuhan, takabur (sombong), bangga diri, ambisi kepemimpinan, jeleknya jiwa, serta kekikirannya.

Hasad yang paling dahsyat adalah yang ditimbulkan oleh permusuhan dan kebencian. Karena orang yang disakiti orang lain dengan sebab apapun, akan menumbuhkan kebencian dalam hatinya, serta tertanamnya api kedengkian dalam dirinya. Kedengkian itu menuntut adanya pembalasan, sehingga ketika musuhnya tertimpa bala` (musibah) ia pun senang dan menyangka bahwa itu adalah pembalasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya. Sebaliknya, jika yang dimusuhinya memperoleh nikmat, ia tidak senang. Maka, hasad senantiasa diiringi dengan kebencian dan permusuhan.

Adapun hasad yang ditimbulkan oleh kesombongan, seperti bila orang yang setingkat dengannya memperoleh harta atau kedudukan maka ia khawatir orang tadi akan lebih tinggi darinya. Ini mirip hasad orang-orang kafir terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana yang dikisahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

“Kalian tidak lain kecuali manusia seperti kami.” (Yasin: 15)

Yakni mereka heran dan benci bila ada orang yang seperti mereka memperoleh derajat kerasulan, sehingga mereka pun membencinya.

Demikian pula hasad yang ditimbulkan oleh ambisi kepemimpinan dan kedudukan. Misalnya ada orang yang tak ingin tertandingi dalam bidang tertentu. Ia ingin dikatakan sebagai satu-satunya orang yang mumpuni di bidang tersebut. Jika mendengar di pojok dunia ada yang menyamainya, ia tidak senang. Ia justru mengharapkan kematian orang itu serta hilangnya nikmat itu darinya.

Begitu pula halnya dengan orang yang terkenal karena ahli ibadah, keberanian, kekayaan, atau yang lainnya, tidak ingin tersaingi oleh orang lain. Hal itu karena semata-mata ingin menyendiri dalam kepemimpinan dan kedudukan. Dahulu, ulama Yahudi mengingkari apa yang mereka ketahui tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam serta tidak mau beriman kepadanya, karena khawatir tergesernya kedudukan mereka.

Adapun hasad yang ditimbulkan oleh jeleknya jiwa serta kikirnya hati terhadap hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, bisa jadi orang semacam ini tidak punya ambisi kepemimpinan ataupun takabur (kesombongan). Namun jika disebutkan di sisinya tentang orang yang diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sempitlah hatinya. Jika disebutkan keadaan manusia yang goncang serta susah hidupnya, ia bersenang hati. Orang yang seperti ini selalu menginginkan kemunduran orang lain, kikir dengan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas para hamba-Nya. Seolah-olah manusia mengambil nikmat itu dari kekuasaan dan perbendaharaannya.

Demikianlah, kebanyakan hasad yang terjadi di tengah-tengah manusia disebabkan faktor-faktor tadi. Dan seringnya terjadi antara orang-orang yang hidup sejaman, selevel, atau antar saudara. Oleh karena itu, anda dapati ada orang alim yang hasad terhadap alim lainnya, dan tidak hasad terhadap ahli ibadah. Pedagang hasad terhadap pedagang yang lain. Sumber semua itu adalah ambisi duniawi, karena dunia ini terasa sempit bagi orang yang bersaing. (Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 240-243)

Buah dari Sifat Hasad

Setiap orang yang lurus dan bijak akan mencela hasad dan berlindung diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala darinya. Lihatlah bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjauhkan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari sikap jelek ini, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela ahlul kitab yang hasad terhadap manusia dalam hal keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’alaberikan kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mencerca kaum munafik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan tentang mereka dalam firman-Nya l(yang artinya):

“Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya. Dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami sebelumnya telah memerhatikan urusan-urusan kami (tidak pergi berperang),’ dan mereka berpaling dengan rasa gembira.” (At-Taubah: 50)

Tidaklah setan dimurkai dan dikutuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan karena hasad dan sikap sombongnya terhadap Adam ‘alaihis salam. Hasad adalah awal kemaksiatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dimaksiati dengannya di langit –oleh Iblis– dan di bumi –oleh salah seorang anak Adam, ketika kurbannya tidak diterima. Ia lalu membunuh saudaranya yang diterima kurbannya.

Orang yang hasad selalu dirundung kegalauan melihat nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang lain, seolah-olah adzab yang menimpa dirinya. Rabbnya murka kepadanya, manusia pun menjauh darinya. Tidaklah anda melihatnya kecuali selalu bersedih hati menentang keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takdir-Nya. Seandainya ia mampu melakukan kebaikan niscaya ia tidak akan banyak beramal dan berpikir untuk menyusul orang yang dihasadi. Dan seandainya mampu melakukan kejelekan, pasti ia akan merampas nikmat saudaranya lalu menjadikan saudaranya itu fakir setelah tadinya kaya, bodoh setelah tadinya pintar, dan hina setelah tadinya mulia. (Lihat Ishlahul Mujtama’, hal. 103-104)

Hasad, Sifat Yahudi yang Menonjol

Orang yang banyak memerhatikan sejarah dan mencermati kondisi umat-umat yang ada, akhlak dan muamalah mereka, benar-benar akan ia dapati bahwa umat yang paling jelek akhlaknya dan paling jahat pergaulannya adalah bangsa Yahudi. Mereka adalah umat yang dikutuk, umat (yang suka) berdusta, melampaui batas, berbuat kefasikan, kemaksiatan, kekufuran dan penyimpangan. Suatu umat yang dibenci oleh manusia karena kerasnya hati mereka, dan dahsyatnya kedengkian serta hasad mereka.

Asy-Syaikh Muhammad bin Salim Al-Baihani rahimahullah berkata: “Tidaklah Al-Qur`an menyifati seseorang dengan sifat hasad, dari dahulu hingga sekarang, lebih dari bangsa Yahudi. Mereka lah yang menyatakan tentang Thalut:

“Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripada dia, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Al-Baqarah: 247)

Mereka menyatakan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menurunkan sesuatu pun kepada manusia.

Mereka juga mengetahui kebenaran, namun kemudian mengingkarinya. Mereka berusaha menghalangi manusia dari kebenaran karena keangkuhan mereka di muka bumi dan karena mereka lebih menyukai kebutaan daripada petunjuk, serta membenci apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala mengandaskan harapan mereka dan meruntuhkan usaha mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (Al-Baqarah: 109) [Lihat Ishlahul Mujtama’, hal. 103-104)

Antara Hasad dan Ghibthah

Dari uraian yang telah disebutkan, jelaslah bahwa hasad adalah suatu sifat yang tercela karena pelakunya mengharapkan hilangnya nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang lain, serta kebencian dia kepada orang yang memperoleh nikmat tersebut. Adapun ghibthah adalah seseorang menginginkan untuk mendapatkan sesuatu yang diperoleh orang lain tanpa menginginkan hilangnya nikmat tersebut dari orang itu. Yang seperti ini tidak mengapa dan tidak dicela pelakunya. Jika irinya dalam hal ketaatan maka pelakunya terpuji. Bahkan ini merupakan bentuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Jika irinya dalam perkara maksiat maka ini tercela, sedangkan bila dalam perkara-perkara yang mubah maka hukumnya juga mubah. (Lihat At-Tafsirul Qayyim, 1/167 dan Fathul Bari, 1/167)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ، رَجُلٍ آَتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآناَءَ النَّهَارِ

“Tidak ada hasad atau iri –yang disukai– kecuali pada dua perkara; (yaitu) seorang yang diberikan pemahaman Al-Qur`an lalu mengamalkannya di waktu-waktu malam dan siang; dan seorang yang Allah beri harta lalu menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (HR. Muslim, Kitab Shalatil Musafirin wa Qashriha, no. 815, dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)

(Bersambung… Insya Allah.)

2 komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca Juga
Close
Back to top button